Minggu, 05 Februari 2012

Nyai Jika Wanita Ahli Strategi Perang Oleh: Masnukhan, S. Pd. (Tenaga Edukatif SMPN 1 Ujungpangkah Gresik) Nama Nyai Jika bagi telinga penduduk Ujungpangkah sudah tidak asing lagi. Nama itu sangat merakyat dari dulu hingga kini. Kebesaran nama Nyai Jika tidak lekang kena panas dan tidak lapuk kena hujan. Namanya melekat di hati penduduk Ujungpangkah. Nyai Jika sebenarnya nama panggilan bukan nama asli. Nama itu yang dikenang dan diingat penduduk Ujungpangkah. Siapa nama aslinya? Sampai saat ini masih belum ada referensi yang dijadikan rujukan. Menurut H. Husen Bawafi, seorang pemerhati sejarah Ujungpangkah tempo dulu dari Ujungpangkah, mengatakan bahwa nama asli Nyai Jika adalah Siti Zuliakhoh. Pendapat lain mengatakan nama aslinya adalah Jiktu Ilaika atau Jiktuka. Bagi penduduk Ujungpangkah tidak begitu penting memperdebatkan hal itu. Penduduk Ujungpangkah memanggil dengan sebutan Nyai Jika karena beliau istri seorang kiyai. Menurut Syekh Muridin, keturunan kelimat Sunan Bonang Tuban, dalam bukunya menulis bahwa Nyai Jika adalah istri Syekh Jayeng Katon. Syekh Jayeng Katon adalah putra Sunan Bonahg Tuban yang mengembara sambing mengembangkan agama Islam dan akhirnya menetap di Ujungpangkah. Sedang panggilan Jika dari kata haji dan Mekkah.Beliau dipanggil Ji karena sudah melaksanakan ibadah haji dan beliau keturunan orang Mekkah. Nyai Jika melaksanakan ibadah haji berangkat dari pondok Sunan Bonang Tuban, tempat pondok mertuanya. Pada saat pergi naik haji beliau sudah mempunyai seorang putra yang dikenal dengan panggilan Pnedil Wesi. Bertahun-tahun beliau meninggalkan keluarganya di Tuban. Beliau lama di Mekkah bersama keluarganya. Keluarganya membujuknya agar beliau tidak kembali ke Tuban agar tetap bisa tinggal bersama keluarga di Mekkah. Namun, beliau tetap kembali ke Tuban. Beliau sangat merindukan putra dan suaminya yang ditinggalkan. Saat tiba di pondok Sunan Bonang mertunya, suami dan putranya sudah tidak ada. Jayeng Katon suaminya, Pendil Wesi putranya, bahkan Jayeng Rono adik iparnya juga sudah pergi meninggalkan pondok Bonang Tuban. Mereka kini tinggal di Ujungpangkah untuk mengarkan Islam. Atas petunjuk Sunan Bonang, Nyai Jika pergi meninggalkan pondok Bonang untuk menyusul ke tempat Jayeng Katon dan putranya berada. Beliau berjalan mengikuti aliran air Bengawan Solo. Nyai Jika berkumpul kembali dengan keluarganya yang kini tinggal di tepi pantai Ujungpangkah. Rumah tinggal Jayeng Katon sekaligus tempat pondok Pangkah kini menjadi Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah. Setelah lama tinggal di pondok Pangkah, Nyai Jika dibuatkan rumah sendiri di wilayah timur pondok Pangkah. Tempat tinggal beliau yang baru dinamai Seng. Nama itu dipilih Nyai Jika untuk mengenang nama tempat tinggal kelahirannya di Seng Mekkah. Di Ujungpangkah Nyai Jika dikaruniai empat orang putra lagi yakni Jaka Karang Wesi, Jaka Berek Sawonggaling, Jaka Sekintel Cinde Amo, dan Jaka Slining. Kedamaian hidup Nyai Jika beserta keluarga di Seng terusik dengan datangnya kapal Belanda. Kapal Belanda itu berlabuh di pelabuahan Pangkah tidak jauh dari tempat tinggal Nyai Jika. Saat itu wilayah Ujungpangkah masih berupa pansdai belum ada ujung seperti sekarang ini. Kapal Belanda itu membawa pasukan. Mereka membangun markas tak jauh dari tempat tinggal Nyai Jika. Setiap pagi dan sore pasukan Belnada itu mengadakan apel bendera. Kedatangan Pasukan Belanda di wulayah Ujungpangkah menjadi beban pikiran Nyai Jika dan keluarganya. Apalagi waktu itu Jayeng Katon sudah lama meninggalkan Ujungpangkah untuk pergi berdakwah ke daerah-daerah yang membutuhkan sambil bersilatur rahim ke sanak keluarga dan santri-santri yang pernah menimba ilmu di pondoknya. Nyai Jika tidak ingin perjuangan suaminya mengislamkan penduduk setempat terganggu dengan keberadaan pasukan Belanda. Disamping itu beliau tidak menginginkan wilayah Ujungpangkah diduduki penjajah Belanda. Jika hal itu terjadi maka akan menjadi sia-sia perjuangan suaminya. Sebelum pasukan Belanda itu menanamkan pengaruhnya di wilayah Ujungpangkah, mereka harus dienyahkan dari bumi Ujungpangkah. Sepak terjang Belanda hari demi hari meresahkan penduduk Ujungpangkah, Nyai Jika dan kelima putranya. Mereka sudah sering medengar bahkan menyaksikan sendiri sepak terjang Belanda di wilayah-wilayah yang didudukinya. Maklum, kelima putra Nyai Jika itu disamping sebagai pemangku pondok di pondoknya masing-masing. Mereka juga sering berdakwah dari satu daerah ke daerah yang lain. Malah, mereka sering berkolaborasi dalam berdakwah. Kelompok dakwah mereka dikenal dengan nama Satrio Pandowo. Mereka terdiri dari lima orang putra pasangan Nyai Jika dengan Jayeng Katon. Di wilayah-wilayah yang didudukinya Belanda mengambil tanah milik penduduk. Penduduk yang membangkang akan disiksa. Para penduduk itu dipaksa menjadi pekerja-pekerja Belanda. Mereka mengerjakan sawah ladang milik penduduk yang sudah beralih milik itu. Nyi Jika dan kelima putranya tidak rela jika hal itu terjadi di wilayah Ujungpangkah. Mereka merasa bertanggung jawab akan nasib penduduk Ujungpangkah. Mereka tidak mengharapkan penduduk Ujungpangkah akan bernasib sama dengan penduduk-penduduk lain yang dikuasai dan dijajah oleh Belanda. Oleh karena itu, mereka mengadakan pertemuan rahasia untuk mengenyahkan kompeni Belanda dari bumi Ujungpangkah sebelum mereka sendiri yang dienyahkan. Mereka menyusun siasat untuk menyingkirkan Belanda dari bumi Ujungpangkah. Hadir dalam pertemuan itu kelima putra Nyai Jika yaitu Pandel Wesi, Jaka Karang Wesi, Jaka Berek Sawonggaling, Jaka Sekintel Cinde Amo, dan Jaka Sekintel alias Jaka Tingkir. Juga hadir Maskiriman dan Sayid Mesir. Jayeng Katon tidak ada dalam pertemuana itu karena ia sudah lama meninggalkan Ujungpangkah.Pertemuan itu diadakan di pesanggraan Tawang Alun putra Jaka Karang Wesi. Pertemuan itu diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh Nyai Jika memohon keselamatan dari Allah dan kemenangan dalam mengusir Belanda. Pada malam yang telah ditentukan mereka melaksanakan siasat yang telah disepakati dalam pertemua tertutup itu. Satrio Pandowo, Maskiriman, Sayid Mesir beserta para santri bergerak maju mengepung maskas Belanda. Tak lama mereka berhamburan menyerbu markas Belanda. Orang-orang Belanda yang berada di markas itu kalang kabut. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri dari serangan. Mereka banyak yang tidak sempat mengambil senjata yang selalu mereka tenteng kemana-mana. Mereka bingung karena tempat itu telah dikepung dari segala penjuru. Mereka dapat meloloskan lari ke arah barat. Orang-orang Belanda yang terbirit-birit itu dikejar oleh Cinte Amo beserta santrinya hingga sampai di Unusan. Komandan tentara Belanda itu larinya terpotong Cinde Amo. Ia dihadang Cinde Amo. Peluruhnya dimuntahkan ke Cinde Amo. Berondongan suara memekakkan telinga. Tembakan itu tak melukai sedikitpun tubuh Cinde Amo yang kusut itu. Komandan itu keder melihat yang diberondong tetap tegar. Pelurunya yang dimuntahkasn terbuang dengan percuma. Tak seorang yang terluka akibat tembakan itu. Cinde Amo mengunus keris dari werangkanya. “Cresss……………”. Keris Cinde Amo merobek perut Komandan Belanda. Isi perut komandan itu terurai keluar terkena keris Cinde Amo. Darah segar menyembur akibat tusukan kerisnya. Komandan itu masih sempat lari beberapa meter ke arah barat sambil menyeberangi rawa-rawa. Komandan itu ngerobyok rawa-rawa sambil memegangi perutnya yang robek. Darahnya membanjiri air di rawa-rawa Krobyokan itu. Rawa-rawa itu menjadi seperti lautan darah. Komandan beserta anak buahnya itu berusaha lari dari kejaran Cinde Amo beserta santri-santrinya. Mereka dilurur dengan galar Cinde Amo. Di barat Pondok Maskiriman komandan tergeletak karena kehabisan darah. Ia mati tertusuk keris Cinde Amo warisan dari Syeh Subakir. Tempat komandan itu dikubur dinamai Kuburan Londo (Kuburan Belanda). Kini kuburan itu bernama kuburan Maskiriman. Mengetahui komandan mereka tergeletak tak bergerak di tanah, orang-orang Belanda itu lari ke arah utara. Mereka ingin menyelamatkan diri mereka masing-masing. Santri-santri Cinde Amo terus memburunya. Di depan mereka telah dihadang oleh Jaka Karang Wesi dan Sayid Mesir. Mereka menghadang orang-orang Belanda yang lari menuju ke arah utara itu. Sayid Mesir sambil membawa lampu ting menunngu kedatangan orang-orang Belanda yang melarikan diri ke arahnya Lampu ting itu digunakan untuk menerangi malam yang pekat itu. Tempat itu dinamakan Mbitingan. Tentara Belanda ketakutan (Jawa: buyuten). Di hadapan mereka tampak orang tinggi besar seperti raksana yang siap melumatkan tubuhnya. Padahal itu hanya bayangan Sayid Mesir terkena cahaya lampu ting. Di Rebuyut mereka dahajar Jaka Karang Wesi, Sayid Mesir dan para santrinya. Mereka diobrak-abrek sampai kocar kacir sampai takut. Tempat itu dinamai Rebuyut. Dengan tenaganya yang tersisa orang-orang Belanda itu berlari ke arah barat ke Kacak. Pendel Wesi, Jaka Slining alias Jaka Tingkir dan santrinya menghadang di Sabilan. Pendel Wesi mengobarkan semangat jihad fi sabilillah kepada para santri-santrinya. Di tempat yang sekarang bernama Sabilan itu mereka menghajar orang-orang Belanda itu habis-habisan. Mereka dijadikan bulan-bulanan para santri Pendel Wesi. Mereka di mbek-embek tanpa ampun lagi. Seragam yang dipakai dipelorot. Yang menempel di badanya tinggal katok tok.. Tempat kejadian itu dinamai Bekuto. Orang-orang Belanda yang sudah tak berdaya itu diseret hingga tubuhnya luka-luka (Jawa: biblak) . Jaka Berek Sawonggaling dan para santrinya beramai-ramai menenyet orang-orang Belanda di jalanan. Malam yang tiada berbintang itu menjadi saksi ketidakberdayaan orang-orang Belanda. Mereka sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk melawan. Nasibnya sudah di ujung tanduk. Mereka tinggal menunggu ajal yang segera menjemputnya. Tempat Peristiwa itu dikenal dengan nama Ngablak. Dari Ngablak tubuh orang-orang Belanda itu diseret ke tepi pantai. Mereka akan dibuang ke pantai agar menjadi santapan ikan-ikan. Santri-santri itu menyeret mereka menuju pantai Ujungpangkah. Namun, baru sampai di Pohon Asem Gerowok. Asem yang gerowok karena memang digerowoki oleh Jaka Berek Sawonggaling sebagai tempat menyimpan senjata tombak-tombak. Para santri itu menghentikan langkahnya. “Berhenti. Jangan langsung lemparkan orang-orang Belanda itu ke pantai. Habisi dulu nyawanya.,”teriak Sawonggaling. Sawonggaling benar-benar memuncak kemarahannya sampai ke ubun-ubun. Ia sangat membenci Belanda. Belanda telah menghianatinya. Ia menang dalam sayembara di kabupaten Surabaya untuk menduduki kursi bupati. Belanda dengan akal bulusnya berupaya menggagalkannya. Penghianatan itu tidak dapat dilupakan sepanjang hidupnya. Tanpa dikomando, para santri mengambil tombok-tombak yang tersimpan di Asem Growok. Tombak-tombak itu mereka gunakan untuk menusuk tubuh orang-orang Belanda. Tubuh orang Belanda itu kowal-kowel, growok-growok terkena ujung tombak yang tajam itu. Mereka dibantai dengan tombak-tombak. Tubuh mereka sudah tidak bergerak-gerak lagi. Tubuh-tubuh yang sudah dari nyawanya itu diseret ke tepi pantai Ujungpangkah. Mayat-mayat mereka dilemparkan secara bertumpuk. Tumpukan mayat sampai mundung-mundung. Tempat peristiwa itu terjadi dinamai Pundung. Tumpakan mayat-mayat itu dibiarkan begitu saja oleh para santri Jaka Berek Tombak-tombak yang baru digunakan untuk membantai orang-orang Belanda itu dikumpulkan dan diletakkan di samping batu. Tempat itu dinamakan Bakwatu. Usai menghabisi orang-orang Belanda, Santrio Pandowo dan para santri beramai-ramai menuju ke Seng. Masih ada satu tugas yang harus diselesaikan. Kapal Belanda yang berada di pantai Seng Ujungpangkah itu harus ditenggelamkan. Kapal itu ditenggelamkan bersama tenggelamnya angan-angan orang-orang Belanda yang akan menguasai wilayah Ujungpangkah. Kapal itu dilubangi beramai-ramai. Air laut mulai mengenangi lambung kapal akibat lubang-lubang itu. Sedikit demi sedikit kapal itu mulai tenggelam. Para santri dengan bertakbir turun dari kapal sebelum kapal itu ambles ke dasar laut. Tak lama kemudian kapal itu tenggelam ke dasar laut. Hanya tiang bendera yang ada di atas kapal itu yang masih tampak dari permukaan air. Beberapa hari setelah kejadian

Nyai Jika Wanita Ahli Strategi Perang
Oleh: Masnukhan, S. Pd.
(Tenaga Edukatif SMPN 1 Ujungpangkah Gresik)

Nama Nyai Jika bagi telinga penduduk Ujungpangkah sudah tidak asing lagi. Nama itu sangat merakyat dari dulu hingga kini. Kebesaran nama Nyai Jika tidak lekang kena panas dan tidak lapuk kena hujan. Namanya melekat di hati penduduk Ujungpangkah.
Nyai Jika sebenarnya nama panggilan bukan nama asli. Nama itu yang dikenang dan diingat penduduk Ujungpangkah. Siapa nama aslinya? Sampai saat ini masih belum ada referensi yang dijadikan rujukan. Menurut H. Husen Bawafi, seorang pemerhati sejarah Ujungpangkah tempo dulu dari Ujungpangkah, mengatakan bahwa nama  asli Nyai Jika adalah Siti Zuliakhoh. Pendapat lain mengatakan nama aslinya adalah Jiktu Ilaika atau Jiktuka. Bagi penduduk Ujungpangkah tidak begitu penting memperdebatkan hal itu.
Penduduk Ujungpangkah memanggil dengan sebutan Nyai Jika karena beliau istri seorang kiyai. Menurut Syekh Muridin, keturunan kelimat Sunan Bonang Tuban, dalam bukunya menulis bahwa Nyai Jika adalah istri Syekh Jayeng Katon. Syekh Jayeng Katon adalah putra Sunan Bonahg Tuban yang mengembara sambing mengembangkan agama Islam dan akhirnya menetap di Ujungpangkah. Sedang panggilan Jika dari kata haji dan Mekkah.Beliau dipanggil Ji karena sudah melaksanakan ibadah haji dan beliau keturunan orang Mekkah.
Nyai Jika melaksanakan ibadah haji berangkat dari pondok Sunan Bonang Tuban, tempat pondok mertuanya. Pada saat pergi naik haji beliau sudah mempunyai seorang putra yang dikenal dengan panggilan Pnedil Wesi. Bertahun-tahun beliau meninggalkan keluarganya di Tuban. Beliau lama di Mekkah bersama keluarganya. Keluarganya membujuknya agar beliau tidak kembali ke Tuban agar tetap bisa tinggal bersama keluarga di Mekkah. Namun, beliau  tetap kembali ke Tuban. Beliau sangat merindukan putra dan suaminya yang ditinggalkan.
Saat tiba di pondok Sunan Bonang mertunya, suami dan putranya sudah tidak ada. Jayeng Katon suaminya, Pendil Wesi putranya, bahkan Jayeng Rono adik iparnya juga sudah pergi meninggalkan pondok Bonang Tuban. Mereka kini tinggal di Ujungpangkah untuk mengarkan Islam. Atas petunjuk Sunan Bonang, Nyai Jika pergi meninggalkan pondok Bonang untuk menyusul ke tempat Jayeng Katon dan putranya berada. Beliau berjalan mengikuti aliran air Bengawan Solo.
Nyai Jika berkumpul kembali dengan keluarganya yang kini tinggal di tepi pantai Ujungpangkah. Rumah tinggal Jayeng Katon sekaligus tempat pondok Pangkah kini menjadi Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah. Setelah lama tinggal di pondok Pangkah, Nyai Jika dibuatkan rumah sendiri di wilayah timur pondok Pangkah. Tempat tinggal beliau yang baru dinamai Seng. Nama itu dipilih Nyai Jika untuk mengenang nama tempat tinggal kelahirannya di Seng Mekkah.
Di Ujungpangkah Nyai Jika dikaruniai empat orang putra lagi yakni Jaka Karang Wesi, Jaka Berek Sawonggaling, Jaka Sekintel Cinde Amo, dan Jaka Slining. 
Kedamaian hidup Nyai Jika beserta keluarga di Seng terusik dengan datangnya kapal Belanda. Kapal Belanda itu berlabuh di pelabuahan Pangkah tidak jauh dari tempat tinggal Nyai Jika. Saat itu wilayah Ujungpangkah masih berupa pansdai belum ada ujung seperti sekarang ini. Kapal Belanda itu membawa pasukan. Mereka membangun markas tak jauh dari tempat tinggal Nyai Jika. Setiap pagi dan sore pasukan Belnada itu mengadakan apel bendera.
Kedatangan Pasukan Belanda di wulayah Ujungpangkah menjadi beban pikiran Nyai Jika dan keluarganya. Apalagi waktu itu Jayeng Katon sudah lama meninggalkan Ujungpangkah untuk pergi berdakwah ke daerah-daerah yang membutuhkan sambil bersilatur rahim ke sanak keluarga dan santri-santri yang pernah menimba ilmu di pondoknya. Nyai Jika tidak ingin perjuangan suaminya mengislamkan penduduk setempat terganggu dengan keberadaan pasukan Belanda.  Disamping itu beliau tidak menginginkan wilayah Ujungpangkah diduduki penjajah Belanda. Jika hal itu terjadi maka akan menjadi sia-sia perjuangan suaminya. Sebelum pasukan Belanda itu menanamkan pengaruhnya di wilayah Ujungpangkah, mereka harus dienyahkan dari bumi Ujungpangkah.
Sepak terjang Belanda hari demi hari meresahkan penduduk Ujungpangkah, Nyai Jika dan kelima putranya. Mereka sudah sering medengar bahkan menyaksikan sendiri sepak terjang Belanda di wilayah-wilayah yang didudukinya. Maklum, kelima putra Nyai Jika itu disamping sebagai pemangku pondok di pondoknya masing-masing. Mereka juga sering berdakwah dari satu daerah ke daerah yang lain. Malah, mereka sering berkolaborasi dalam berdakwah. Kelompok dakwah mereka dikenal dengan nama Satrio Pandowo. Mereka terdiri dari lima orang putra pasangan Nyai Jika  dengan Jayeng Katon.
Di wilayah-wilayah yang didudukinya Belanda mengambil tanah milik penduduk. Penduduk yang membangkang akan disiksa. Para penduduk itu dipaksa menjadi pekerja-pekerja Belanda. Mereka mengerjakan sawah ladang milik penduduk yang  sudah beralih milik itu.
Nyi Jika dan kelima putranya tidak rela jika hal itu terjadi di wilayah Ujungpangkah. Mereka merasa bertanggung jawab akan nasib penduduk Ujungpangkah. Mereka tidak mengharapkan penduduk Ujungpangkah akan bernasib sama dengan penduduk-penduduk lain yang dikuasai dan dijajah oleh Belanda. Oleh karena itu, mereka mengadakan pertemuan rahasia untuk mengenyahkan kompeni Belanda dari bumi Ujungpangkah sebelum mereka sendiri yang dienyahkan. Mereka menyusun siasat untuk menyingkirkan Belanda dari bumi Ujungpangkah. Hadir dalam pertemuan itu kelima putra Nyai Jika yaitu Pandel Wesi, Jaka Karang Wesi, Jaka Berek Sawonggaling, Jaka Sekintel Cinde Amo, dan Jaka Sekintel alias Jaka Tingkir. Juga hadir Maskiriman dan Sayid Mesir. Jayeng Katon tidak ada dalam pertemuana itu karena ia sudah lama meninggalkan Ujungpangkah.Pertemuan itu diadakan di pesanggraan Tawang Alun putra Jaka Karang Wesi. Pertemuan itu diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh Nyai Jika memohon keselamatan dari Allah dan kemenangan dalam mengusir Belanda.
Pada malam yang telah ditentukan mereka melaksanakan siasat yang telah disepakati dalam pertemua tertutup itu. Satrio Pandowo, Maskiriman, Sayid Mesir beserta para santri bergerak maju mengepung maskas Belanda. Tak lama mereka berhamburan menyerbu markas Belanda. Orang-orang Belanda yang berada di markas itu kalang kabut. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri dari serangan. Mereka banyak yang tidak sempat mengambil senjata yang selalu mereka  tenteng kemana-mana. Mereka bingung karena tempat itu telah dikepung dari segala penjuru. Mereka dapat meloloskan lari ke arah barat. Orang-orang Belanda yang terbirit-birit itu dikejar oleh Cinte Amo beserta santrinya hingga sampai di Unusan. Komandan tentara Belanda itu larinya terpotong Cinde Amo. Ia dihadang Cinde Amo. Peluruhnya dimuntahkan ke Cinde Amo. Berondongan suara memekakkan telinga. Tembakan itu tak melukai sedikitpun tubuh Cinde Amo yang kusut itu. Komandan itu keder melihat yang diberondong tetap tegar. Pelurunya yang dimuntahkasn terbuang dengan percuma. Tak seorang yang terluka akibat tembakan itu. Cinde Amo mengunus keris dari werangkanya.
“Cresss……………”. Keris Cinde Amo merobek perut Komandan Belanda. Isi perut komandan itu terurai keluar terkena keris Cinde Amo. Darah segar menyembur akibat tusukan kerisnya. Komandan itu masih sempat lari beberapa meter ke arah barat sambil menyeberangi rawa-rawa. Komandan itu ngerobyok rawa-rawa sambil memegangi perutnya yang robek. Darahnya membanjiri air di rawa-rawa Krobyokan itu. Rawa-rawa itu menjadi seperti lautan darah. Komandan beserta anak buahnya itu berusaha lari dari kejaran Cinde Amo beserta santri-santrinya. Mereka dilurur dengan galar Cinde Amo. Di barat Pondok Maskiriman komandan tergeletak karena kehabisan darah. Ia mati tertusuk keris Cinde Amo warisan dari Syeh Subakir. Tempat komandan itu dikubur dinamai Kuburan Londo (Kuburan Belanda). Kini kuburan itu bernama kuburan Maskiriman.
Mengetahui komandan mereka tergeletak tak bergerak di tanah, orang-orang Belanda itu lari ke arah utara. Mereka ingin menyelamatkan diri mereka masing-masing. Santri-santri Cinde Amo terus memburunya. Di depan mereka telah dihadang oleh Jaka Karang Wesi dan Sayid Mesir. Mereka menghadang orang-orang Belanda yang lari menuju ke arah utara itu. Sayid Mesir sambil membawa lampu ting menunngu kedatangan orang-orang Belanda yang melarikan diri ke arahnya Lampu ting itu digunakan untuk menerangi malam yang pekat itu. Tempat itu dinamakan Mbitingan.
Tentara Belanda ketakutan (Jawa: buyuten). Di hadapan mereka tampak orang tinggi besar seperti raksana yang siap melumatkan tubuhnya. Padahal itu hanya bayangan Sayid Mesir terkena cahaya lampu ting. Di Rebuyut mereka dahajar Jaka Karang Wesi, Sayid Mesir dan para santrinya. Mereka diobrak-abrek sampai kocar kacir sampai takut. Tempat itu dinamai Rebuyut.
Dengan tenaganya yang tersisa orang-orang Belanda itu berlari ke arah barat ke Kacak. Pendel Wesi, Jaka Slining alias Jaka Tingkir dan santrinya menghadang di Sabilan. Pendel Wesi mengobarkan semangat jihad fi sabilillah kepada para santri-santrinya. Di tempat yang  sekarang bernama Sabilan itu mereka menghajar orang-orang Belanda itu habis-habisan. Mereka dijadikan bulan-bulanan para santri Pendel Wesi. Mereka di mbek-embek tanpa ampun lagi. Seragam yang dipakai dipelorot. Yang menempel di badanya tinggal katok tok.. Tempat kejadian itu dinamai Bekuto.
Orang-orang Belanda yang sudah tak berdaya itu diseret hingga tubuhnya luka-luka (Jawa: biblak) . Jaka Berek Sawonggaling dan para santrinya beramai-ramai menenyet orang-orang Belanda di jalanan. Malam yang tiada berbintang itu menjadi saksi ketidakberdayaan orang-orang Belanda. Mereka sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk melawan. Nasibnya sudah di ujung tanduk. Mereka tinggal menunggu ajal yang segera menjemputnya. Tempat Peristiwa itu dikenal dengan nama Ngablak.
Dari Ngablak tubuh orang-orang Belanda itu diseret ke tepi pantai. Mereka akan dibuang ke pantai agar menjadi santapan ikan-ikan. Santri-santri itu menyeret mereka menuju pantai Ujungpangkah. Namun, baru sampai di Pohon Asem Gerowok. Asem yang gerowok karena memang digerowoki oleh Jaka Berek Sawonggaling sebagai tempat menyimpan senjata tombak-tombak. Para santri itu menghentikan langkahnya.
“Berhenti. Jangan langsung lemparkan orang-orang Belanda itu ke pantai. Habisi dulu nyawanya.,”teriak Sawonggaling.
Sawonggaling benar-benar memuncak kemarahannya sampai ke ubun-ubun. Ia sangat membenci Belanda. Belanda telah menghianatinya. Ia menang dalam sayembara di kabupaten Surabaya untuk menduduki kursi bupati. Belanda dengan akal bulusnya berupaya menggagalkannya. Penghianatan itu tidak dapat dilupakan sepanjang hidupnya.
Tanpa dikomando, para santri mengambil tombok-tombak yang tersimpan di Asem Growok. Tombak-tombak itu mereka gunakan untuk menusuk tubuh orang-orang Belanda. Tubuh orang Belanda itu kowal-kowel, growok-growok terkena ujung tombak yang tajam itu. Mereka dibantai dengan tombak-tombak. Tubuh mereka sudah tidak bergerak-gerak lagi. Tubuh-tubuh yang sudah dari nyawanya itu diseret ke tepi pantai Ujungpangkah. Mayat-mayat mereka dilemparkan secara bertumpuk. Tumpukan mayat sampai mundung-mundung. Tempat peristiwa itu terjadi dinamai Pundung. Tumpakan mayat-mayat itu dibiarkan begitu saja oleh para santri Jaka Berek  Tombak-tombak yang baru digunakan untuk membantai orang-orang Belanda itu dikumpulkan dan diletakkan di samping batu. Tempat itu dinamakan Bakwatu.
Usai menghabisi orang-orang Belanda, Santrio Pandowo dan para santri beramai-ramai menuju ke Seng. Masih ada satu tugas yang harus diselesaikan. Kapal Belanda yang berada di pantai Seng Ujungpangkah itu harus ditenggelamkan. Kapal itu ditenggelamkan bersama tenggelamnya angan-angan orang-orang Belanda yang akan menguasai wilayah Ujungpangkah. Kapal itu dilubangi beramai-ramai. Air laut mulai mengenangi lambung kapal akibat lubang-lubang itu. Sedikit demi sedikit kapal itu mulai tenggelam. Para santri dengan bertakbir turun dari kapal sebelum kapal itu ambles ke dasar laut. Tak lama kemudian kapal itu tenggelam ke dasar laut. Hanya tiang bendera yang ada di atas kapal itu yang masih tampak dari permukaan air.
Beberapa hari setelah kejadian penumpasan orang-orang Belanda itu, di sepanjang pantai Ujungpangkah dipenuhi dengan set (Indonesia: ulat) yang merata Ternyata para penduduk yang datang ke tempat itu terkesima karena di sepanjang pantai Ujungpangkah itu rata dengan ulat-ulat. Ulat-ulat itu setelah ditelusuri sumbernya ternyata berasal dari tumpukan mayat-mayat orang-orang Belanda yang dibiarkan ditumpuk tanpa dikuburkan. Tempat itu dinamakan Setro.






























Makam Nyai Jika, istri Jayeng Katon,
di Seng Sari Mulyarejo Ujungpangkah





















Batu Replika Keris Cinde Amo warisan Syeh Subakir




















Jalan Masuk ke Wilayah Seng Sari Mulyorejo





1 komentar: