Selasa, 22 November 2011

ASAL USUL DESA SEMBAYAT GRESIK


Asal Muasal Desa Sembayat Manyar
Oleh: Masnukhan, S. Pd.
(Tenaga Edukatif SMPN 1 Ujungpangkah)


Desa Sembayat merupakan salah satu desa yang berada di wilayah kecamatan Manyar kabupaten Gresik, sekitar 15 km arah utara kota Gresik. Nama desa itu tidak asing lagi bagi para pengguna jalan Pantura (Pantai Utara).Lebih-lebuh pada saat seputar lebaran Idul Fitri. Jalan itu dijadikan sebagai salah satu jalan alternatif bagi pemudik.
Desa itu sangat dikenal oleh para pengguna jalan Pantura karena desa itu berada di sebelah selatan jembatan yang melintas di atas sungai terpanjang di pulau Jawa, yakni Bengawan Solo. Jembatan itu menghubungkan wilayah kecamatan Bungah dengan wilayah kecamatan Manyar.
Namun demikian, belum banyak masyarakat yang tahu mengapa desa itu dinamai Sembayat. Menurut kitab Asal-usul Ujungpangkah karangan Syeikh Muridin, keturunan kelima Sunan Bonang Tuban, nama sembayat berhubungan erat dengan kisah Cinde Amo.
Siapa sebenarnya Cinde Amo itu?
Cinde Amo alias Jaka Sekintel adalah putra keempat Jayeng Katon bin Sunan Bonang Tuban dari lima bersaudara. Kelima putra Jayeng Katon adalah Pendel Wesi, Jaka Karang Wesi, Cinde Amo, Jaka Berek Sawonggaling, dan Jaka Slining.
Cinde Amo, cucu Sunan Bonang, saat masih remaja dipondokkan oleh orang tuanya di Pondok yang diasuh oleh  Sunan Giri  di Giri Gresik. Sebenarnya antara Cinde Amo dengan Sunan Giri masih ada hubungan keluarga. Cinde Amo putra Jayeng Katon. Jayeng Katon putra Sunan Bonang. Sunan Bonang putra Sunan Ampel. Sunan Ampel putra Syeikh Ibrahim Asmarakondi. Syeikh Ibrahim Asmarakondi adalah putra Syeikh Jamaluddin Jumadil Kubra.
. Syeikh Jamaluddin Jumadil Kubra sebagai penyebar Islam di pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Beliau termasuk Walisongo periode pertama. Beliau berputra tiga orang, yakni Syeikh Ibrahim Asmarakondi, Syeikh Abdullah Asyari, dan Syeikh Maulana Ishak. Syekh Ibrahim Asmarakandi pesareannya di desa Gresikharjo kecamatan Palang Tuban, 8 km sebelah timur kota Tuban. Syeikh Abdullah Asyari pesareannya di desa Bejagung Tuban, 2 km sebelah selatan kota Tuban. Syeikh Maulana Ishak kembali ke Pasai dan wafat di sana.
Hubungan kekeluargaan antara Cinde Amo dengan Sunan Giri bertemu di Syeikh Jamaluddin Jumadil Kubra yang melatarbelakangi Jayeng Katon mempercayakan pendidikan Cine Amo, putranya kepada Sunan Giri. Disamping agar Cinde Amo bisa memperdalam ilmu syariat agama Islam kepada Sunan Giri. Jayeng Katon tidak salah memilih Sunan Giri sebagai guru putranya karena memang Sunan Giri dikenal sebagai seorang wali yang menguasai ilmu syariat agama Islam. Hal ini terbukti dengan gelar Ainul Yaqin yang diterimanya juga untuk memperkokoh hubungan kekeluargaan.
Setelah menamatkan pelajaran di pondok Sunan Giri, Cinde Amo pulang ke Ujungpangkah. Untuk mengamalkan ilmunya, Cinde Amo mendirikan pondok pesantren di Unusan Pangkahwetan Ujungpangkah. Pondok itu dikenal dengan nama Pondok Unusan. Pondok itu berada di tepi pantai, kala itu sebelum berubah menjadi ujung. Untuk mencari pondok Unusan tidak terlalu sulit karena di sekitar pondok itu ditandai dengan pohon kamboja. Di bawah pohon kamboja itu juga digunakan oleh Cinde Amo sebagai tempat untuk mengajarkan ilmu-ilmu kepada para santrinya. Cinde Amo rupanya sudah menerapkan sistem pendidikan modern. Pendidikan tidak hanya dilaksanakan di dalam ruang belajar belajar saja, namun juga menggunakan alam sekitar sebagai tempat belajar.
Suatu hari Cinde Amo dipanggil Nyai Jika, panggilan ibunya, untuk mencari Jayeng Katon, ayahnya yang sudah lama meninggalkan Ujugpangkah untuk berdakwah keliling pulau Jawa dan ke luar pulau Jawa. Sebenarnya Nyai Jika sudah menugasi saudara-saudara Cinde Amo untuk mencari orang tua mereka, namun belum berhasil. Pendil Wesi, putra pertama, mencari di wilayah Lamongan dan sekitarnya, Jaka Karang Wesi mencari ke wilayah Demak dan sekitarnya, Jaka Berek Sawonggaling ke wilayah dan sekitarnya. Namun, ketika kakak Cinde Amo belum berhasil menemukan keberadaan Jayeng Katon. Maklum Jayeng Katon suka berdakwah dari tempat yang satu ke tempat lainnya sambil bersilaturrahim kepada keluarga dan para santrinya yang pernah belajar di pondok Pangkah miliknya.
Kini giliran Cionde Amo, putra keempat Nyai Jika yang ditugaskan mencari abahnya. Ia pergi untuk mencari abahnya. Ketiga kakaknya telah kembali dengan tangan hampa. Mereka tidak berhasil menemukan abahnya. Ia bertugas mencari keberadaan abahnya di wilayah Gresik dan sekitarnya karena waktu kecil ia dipondokkan di pondok Sunan Giri yang berada di pegunungan Giri Gresik.
Cinde Amo bersilaturrahim ke Sunan Giri gurunya untuk meminta petunjuk keberadaan abahnya. Di pondok Giri Cinde Amo teringat masa-masa belajar dengan Sunan Giri. Ia mempelajari dengan tekun pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Ia juga menghapalkan Alquran selama di pondok. Ia baru meninggalkan pondok Giri setelah tamat belajar dan hapal Alquran.
Sunan Giri memberikan petunjuk kepada santrinya itu tempat-tempat yang biasa didatangi Jayeng Katon abahnya. Ia mendatangi ke pelosok wilayah Gresik dan sekitarnya. Di tempat-tempat yang ditunjukkan Sunan Giri itu telah didatanginya namun abahnya tidak dijumpainya di sana. Jayeng Katon sudah lama meninggalkan wilayah Gresik. Karena sudah tidak menemukan abahnya di wilayah itu, Cinde Amo memutuskan pulang ke Ujungpangkah.
Di tengah perjalanan Cinde Amo bertemu dengan seorang gadis cantik. Ia terpikat gadis itu. Ia datangi rumah orang tua gadis itu. Ia mengutarakan maksud kedatangannya kepada orang tua gadis itu. Orang tua gadis itu menanyakan keluarga Cinde Amo. Cinde Amo mengutarakan kepada calon mertunya dengan apa adanya. Ia tidak menambah dan tidak mengurangi. Ia masih memegang teguh ajaran gurunya agar ia selalu berkata jujur kepada siapa saja karena jujur itu termasuk sifat orang beriman. Sebaliknya berbohong itu termasuk sifat orang munafik.
Lamaran Cinde Amo diterima setelah mengetahui latar belakang keluarnya. Ia dinikahkan dengan putrinya. Setelah menikah ia membuat pondokan sendiri. Di pondokan itu penduduk setempat menyuruh anak-anaknya untuk belajar ilmu agama kepada. Kian hari kian bertambah anak-anak yang datang.Mula-mula anak-anak penduduk setempat lama-kelamaan anak-anak dari luar ikut membanjiri rumahnya. Rumahnya berubah menjadi pondok. Masyarakat setempat dan penduduk sekitarnya datang menitipkan putra-putrinya untuk dididik oleh Cinde Amo. Cinde Amo terkenal di tempat itu sebagai orang yang alim dan hapal Alquran. Banyak ulama yang datang ke pondoknya untuk berdiskusi tentang ayat-ayat dalam kitab suci Alquran. Mereka mohon penjelasan makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran. Cinde Amo menerangkan secara gamblang makna yang tersurat maupun yang tersirat dari ayat-ayat yang dipertanyakan. Ia juga banyak didatangi ulama-ulama dari berbagai daerah untuk memesan tulisan tangan. Ada ulama yang datang memesan Alquran Stambul, quran berukuran kecil.
Suatu hari Sunan Kalijogo bersilaturrahim ke pondoknya. Ia memberi wejangan kepada Cinde Amo. Wejangan itu disampaikan dalam bentuk tembang dandang gulo. Wejangan itu dihapal oleh Cinde Amo. Tembang itu sering dilagukan oleh Cinde Amo di pondoknya sebelum memberikan pelajaran kepada santri-santrinya.
Dalam kesempatan itu, Sunan Kalijogo memanggil Cinde Amo dengan sebutan       Ki Ageng Mbah Ayat karena kedalaman ilmunya dalam memahami setiap ayat-ayat Alquran. Sejak saat itu para santri dan penduduk setempat bahkan ulama-ulama yang datang ke pondoknya memanggilnya Ki Ageng Mbah Ayat. Dari panggilan itu muncul panggilan-panggilan serupa seperti Mbah Ayat, Si Mbahe Ayat, Ki Mbayat. Dari panggilan itu namanya diabadikan sebagai nama tempat pondoknya. Pondoknya disebut Pondok Mbayat atau Pondok Sembayat. Desa tempat pondoknya berada disebut Sembayat atau Bayat.
Suatu hari Ki Ageng Bayat pulang ke Ujungapangkah. Ia ke pondok Unusan menemui santri-santri yang lama ditinggalkan mengembara mencari Jayeng Katon. Ia juga mengunjungi Nyai Jika dan mengabarkan kegagalannya mencari abahnya. Ia harus bolak balik dari pondok Unusan Ujungpangkah ke Pondok Bayat. Cinde Amo mempunyai tiga belas putra. Sepuluh dari putra Cinde Amo tinggal di wilayah Sembayat sedangkan tiga lainnya menetap di Ujungpangkah.  Jaka Sembung adalah anaknya yang dipercaya membantu mengasuh pondok Unusan Ujungpangkah bila dirinya pergi berdakwah.
Pada masa tuanya Cinde Amo memilih menetap di Ujungpangkah untuk mengurusi pondok Unusan yang lama ditinggalkan hingga akhir hayatnya. Sedangkan pondok Sembayat dipercayakankan kepada putra-putranya untuk meneruskan kelangsungan pendidikannya. Cinde Amo wafat di Ujungpangkah dan dikuburkan di sekitar pondok Unusan Pangkahwetan Ujungpangkah. Makam tempat Cinde Amo dikuburkan dikenal dengan nama kuburan Unusan. Kini kuburan Cinde Amo itu berada di belakang gedung SDN Pangkahwetan 2 Ujungpangkah.

Minggu, 30 Oktober 2011

TUGU HADIAH DARI KANJENG SEPUH SIDAYU GRESIK


TUGU DESA HADIAH DARI KANJENG SEPUH SIDAYU
Oleh: Masnukhan, S. Pd.
(Tenaga Edukatif SMPN 1 Ujungpangkah Gresik)

Pada masa kerajaan sampai masa penjajahan, Sidayu menjadi salah satu kabupaten di nusantara. Nama-nama bupati yang pernah memerintah di kabupaten Sidayu adalah sebagai berikut:
  1. Raden Kromo Wijaya
  2. Adipati Probolinggo
  3. Raden Kanjeng Soewargo
  4. Raden Kanjeng Sido Ngawen
  5. Raden Kanjeng Sido Banten
  6. Kanjeng Kudus
  7. Kanjeng Djoko
  8. Kanjeng Sepuh
  9. Kanjeng Pangeran
  10. Ragen Badrun
Di antara kesepuluh bupati Sidayu itu, nama Kanjeng Sepuh yang sangat melekat di hati masyarakat Sidayu bahkan menjadi tokoh panutan dan kebanggaan masyarakat Sidayu. Nama asli Kanjeng Sepuh adalah Raden Adipati Soerjadiningrat.
Kanjeng Sepuh tersohor lantaran beliau adalah seorang bupati yang ulama atau ulama yang menjadi seorang bupati. Beliau sangat dicintai masyarakatnya karena beliau sangat memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya terutama kawula alit. Kecintaan itu hingga kini tidak luntur. Hal ini dibuktikan diantaranya dengan diabadikannya nama beliau sebagai nama Majid Besar Sidayu dan nama Lembaga Pendikan terbesar di kecamatan Sidayu yaitu Taman Pendidikan Kanjeng Sepuh atau lebih dikenal dengan singkatan TPKS.
Pada masa hidupnya beliau mempunyai kegemaran memelihara kuda baik sebagai kuda tunggangan maupun kuda penarik kereta. Suatu saat beliau mendengar bahwa di Ujungpangkah ada seorang yang mempunyai kuda yang bagus. Orang itu bernama Jayeng Katon. Beliau ingin sekali mendatanginya untuk berguru cara merawat kuda. Beliau terkagum-kagum melihat kuda Jayeng Katon. Kuda itu badannya tinggi, tubuhnya ramping, kulitnya hitam, bulunya mengkilat. Kuda itu diberi nama kuda Sembrani. Kuda iyu sangat penurut kepada majikannya. Meskipun tan ada seutas tali yang mengikatnya, kuda tidak mau pergi meninggalkan tempatnya. Kuda pintar sekali terhadap bahasa isyarat yang diberikan oleh majikannya. Kuda itu menuruti segala perintah tuannya.
Kanjeng Sepuh sangat takjub dan tertarik terhadap kuda itu. Beliau ingin sekali mempunyai kuda-kuda seperti kuda yang dimiliki Jayeng Katon. Beliau lebih takjub lagi kepada pemilik kuda itu. Jayeng Katon ternyata seorang ulama yang alim, bersahaja, dan memiliki ilmu kanoragan yang tinggi. Jayeng Katon juga sebagai pemangku pondok Ujungpangkah Beliau bisa mengukur kedalam ilmu seseorang karena beliau sendiri seorang ulama.
 Pada pertemuan itu Kanjeng Sepuh meminta kepada Jayeng Katon untuk merawatkan kuda-kuda beliau. Beliau ingin sekali memiliki kuida-kuda yang bagus-bagus dan penurut. Jayeng Katon tidak dapat menolak permintaan bupati di wilayah Sidayu itu. Sebagai penduduk yang baik Jayeng Katon merasa bangga bisa memenuhi permintaan bupatinya.
Kanjeng Sepuh mengirimkan kuda-kuda beliau ke Ujungpangkah untuk dirawatkan kepada Jayeng Katon. Kuda-kuda itu ditempatkan di sebuah tanah lapang sekitar enam ratus meter ke timur dari pondok Ujungpangkah atau rumah Jayeng Katon. Kuda-kuda itu dibiarkan bebas di tanah lapang itu. Jayeng Katon menyediakan tempat berteduh kuda-kuda itu secara terbuka. Tidak ada pagar atau batas. Namun, kuda-kuda itu tidak meninggalkan area tanah lapang tempat merumput. Tempat itu dikenal dengan nama Monok karena di tempat itu banyak penekan atau tumpukan kotoran kuda. Di bagian selatan tanah lapang itu disediakan jambangan atau bejana yang selalu penuh diisi air untuk tempat minum kuda-kuda Kanjeng Sepuh. Tempat itu dikenal dengan sebutan Jambangan.
Suatu ketika, Kanjeng Sepuh bersilaturrahim ke Pondok Ujungpangkah yang diasuh oleh Jayeng Katon sambil ingin melihat-melihat kuda-kuda yang telah dititipkan. Beliau sangat senang melihat kuda-kuda beliau. Beliau tidak menyangka kuda-kuda itu berubah


menjadi kuda-kuda yang bangus dan penurut. Saking senangnya, beliau menghadiahi lima ekor kuda untuk kelima putra Jayeng Katon, yaitu Pendel Wesi, Jaka Karang Wesi, Jaka Berek Sawonggaling, Jaka Sekintel Cinde Amo, dan Jaka Slining.
Ketika Kanjeng Sepuh di Ujungpangkah beliau tertarik sekali melihat pohon-pohon asem yang tumbuh di Ujungpasngkah. Pikiran beliau melayang ke wilayah Sidayu yang gersang karena kurangnya penghijauan. Pikiran itu diungkapkan kepada Jayeng Katon. Jayeng Katon mengerti kemauan tamunya itu. Jayeng Katon menyanggupinya.
Suatu malam yang telah dijanjikan Jayeng Katon datang ke Sidayu, beliau menanam bibit-bibit pohon asem dari Ujungpangkah itu di sepanjang kanan kiri jalan di wilayah Sidayu sesuai dengan permintaan Kanjeng Sepuh. Bibit-bibit pohon asem itu tumbuh dan berkembang dengan baik di Sidayu. Pohon-pohon itu hingga kini masih menjadi saksi kesetiaan seorang penduduk kepada pejabatnya.
Untuk kesekian kalinya Kanjeng Sepuh hadir di Ujungpangkah. Kali ini beliau hadir dengan membawa persoalan yang berat. Betapa tidak, beliau meminta kepada Jayeng Katon untuk menghadapi seekor banteng. Kanjeng Sepuh menerima sayembara dari atasannya bahwa bupati yang bisa mengalahkan banteng akan dinaikkan pangkatnya dan diperluas wilayah kekuasaannya.
Jayeng Katon alias Jiwosuto berpikir dengan tenang dan diam beberapa saat sebelum memberikan jawaban terhadap permintaan itu. Dengan nada rendah Jayeng Katon akan berusaha membantunya. Berbunga-bunga hati Kanjeng Sepuh mendengar jawaban yang keluar dari mulut orang yang sangat dikagumi itu.
Pada saat yang telah ditentukan Kanjeng Sepuh, Jayeng Katon dan rombongan dari pejabat kabupaten Sidayu berangkat menuju alun-alun Tuban untuk menghadiri sayembara itu. Sebelum berangkat Jayeng Katon meminta kepada Kanjeng Sepuh untuk bertukar baju dengan baju dengan Jayeng Katon. Setelah bertukar baju wajah Jayeng Katon berubah menjadi Kanjeng Sepuh. Begitu juga sebaliknya.
Dalam sayembara adu dengan banteng itu Jayeng Katon yang berpakaian kebesaran kabupaten Sidayu dapat mengalahkan banteng. Banteng itu dikeplak menjadi hancur berkeping-keping. Rombangan Kanjeng Sepuh pulang ke Sidayu dengan membawa kemenangan dan perasaan lega.
Atas jasa-jasa Jayeng Katon, Kanjeng Sepuh memberikan beberapa penghargaan atau hadiah kepada Jayeng Katon. Beliau memberikan beslit kepada Jayeng Katon sebagai naib Ujungpangkah  selama tujuh turunan, Memberikan kewenangan penuh kepada Jayeng Katon untuk mengatur pemerintahan wilayah Ujungpangkah.Ujungpangkah dijadikan sebagai tanah merdikan  atau semacam otonom di bawah kekuasaan Jayeng Katon, namun masih tetap berada di bawah wilayah kabupaten Sidayu.
Disamping itu, Kanjeng Sepuh membangunkan tugu di dua pintu masuk Ujungpangkah. Satu tugu di pintu masuk dari timur dan satu tugu di pintu masuk dari barat. Namun sayang, sekali lagi sayang tugu bersejarah itu kini tinggal satu, yaitu  yang berada di di pintu masuk dari arah timut. Kini tempatnya berada di kampung Tampomas Pangkahwetan Ujungpangkah. Tugu itu pun kini merana karena pemerintah setempat tidak pernah memperhatikan. Mungkin  karena ketidaktahuannya. Tugu yang berada di pintu masuk dari arah barat (sekarang berada di sisi makam Tembok Watu Pangkahwetan) sudah lama roboh sekitar tahun 1970-an karena dimakan usia dan tidak ada yang peduli merawatnya. Kewajiban generasi penerus bangsa untuk melestarikan aset peninggalan bersejarah sebeleum aset-aset itu hilang ditelan masa. Oh, alangkah sayangnya.

Kamis, 27 Oktober 2011

ASAL MUASAL DESA DUKUN GRESIK


DUKUN, DESA KELAHIRAN BUPATI KETURUNAN JAKA TINGKIR
Oleh: Masnukhan, S. Pd.
(Tenaga Edukatif SMPN 1 Ujungpangkah Gresik)

Desa Dukun tiba-tiba menjadi buah bibir masyarakat Gresik, Jawa Timur, bahkan seluruh Indonesia. Desa yang menjadi ibukota kecamatan Dukun itu sebenarnya seperti desa-desa lain, tidak ada yang istimewa dari desa itu. Namun, nama desa itu tiba-tiba banyak disebut dan diperbincangkan banyak orang. Nama desa itu mengorbit bak artis yang sedang naik daun sejalan dengan terpilihnya Drs. K.H. Robbah Ma’sum, M. M. sebagai bupati Gresik pertama yang terpilih pada era reformasi.
Bupati yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa itu yang telah menorehkan tinta emas dalam pemerintahan kabupaten Gresik Betapa tidak, euforia reformasi yang ditandai dengan berdirinya partai-partai baru bentukan rakyat itu telah mengantarkan         Drs. K. H. Robbah Ma’sum, M. M., keturunan tokoh legendaris Jaka Tingkir,  sebagai bupati yang muncul dari dari bawah. Tidak  seperti pada masa Orde Baru, bupati itu dianggkat berdasarkan ‘restu’ dari atas. Apalagi, beliau adalah putra daerah. Disamping itu beliau sebagai bupati pertama yang terpilih dalam pemilihan bupati secara langsung oleh rakyat. Nama beliau layak diabadikan dan dikenang oleh segenap anak bangsa yang berada di kabupaten Gresik khususnya.
Terpilihnya Drs. K.H. Robbah Ma’sum, M. M. sebagai bupati ikut mengangkat nama desa Dukun ke permukaan. Sebelumnya nama desa dukun belum banyak dikenal orang. Bahkan perkataan dukun sendiri kurang begitu mendapat tempat di pikiran kaum intelektual. Kata itu sangat berkaitan erat dengan hal-hal yang mistis bahkan cenderung berkonotasi negatif. Hal itu wajar karena bangsa Indonesia ratusan tahun menganut agama Hindu dan Buda. Bahkan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme masih melekat pada sebagian bangsa Indonesia. Begitu juga halnya penggunaan istilah dukun masih terpengaruh oleh paham lama.
Lewat tulisan ini akan sedikit mengungkap mengapa desa itu dinamai desa Dukun sebagai salah satu wacana bagi generasi muda untuk mengetahui asal-muasal nama desanya. Hal ini amat penting agar generasi muda tidak terputus dari akar budaya bangsanya.
Bila kita mendengar kata dukun, bayangan kita akan teringat pada sosok orang yang berpenampilan nyentrik, sangar, berpakaian kumal, badanya berbau kemenyan, mengagung-agung benda-benda yang dituahkan dan sebagainya. Dukun adalah sosok orang yang dipercaya mempunyai ilmu linuwih yang mampu menolong pasienya yang memerlukan jasanya hanya dengan kekuatan mantra atau doa-doa. Dukun dipercaya bisa membantu mengantarkan kesuksesan keperluan pasiennya seperti dalam bidang pengobatan, perjodohan, kepangkatan, pelarisan dagangan, dan lainnya.
Image masyarakat sudah mendarah daging terhadap keberadaan dukun. Masyarakat menggeneralisasikan bahwa orang yang dipercaya mempunyai ilmu linuwih yang mampu menolong pasienya dengan kekuatan mantra atau doa-doa dikategorikan dukun. Padahal dalam kenyataan di masyarakat banyak digunakan istilah dukun dalam pengertian yang lebih luas seperti dukun bayi, dukun pijat, dukun anak, dsb.
 Dalam dunia perdukunan sendiri dukun dikategorikan menjadi dua. Ada dukun abangan dan ada dukun putihan. Dukun abangan untuk menyebut dukun beraliran hitam dan dukun putihan untuk menyebut dukun beraliran putih.  Kata abangan berasal dari kata aba’an dari bahasa Arab yang berati melanggar sedangkan kata putihan juga berasal dari bahasa Arab muthi’an yang berarti taat. Maksudnya, aba’an bermakna melanggar larangan Allah sedangkan muthi’an bermakna taat terhadap perintah Allah.
Kembali ke pokok permasalahan. Sekarang apa hubungan antara nama desa Dukun dengan perdukunan. Apakah di tempat itu dulu menjadi tempat  para dukun sehingga desa itu diberi nama Dukun.
Menurut buku Primbon Sunan Bonang.disebutkan bahwa dulu di wilayah itu (sekarang Dukun) hidup seorang yang sakti mandraguna dan juga menguasai ilmu ketabibab atau ‘pedukunan’. Orang itu dikenal dengan sebutan Jaka Umbaran. Nama itu merupakan panggilan sehari-hari yang diberikan  ayahnya kepadanya. Kebiasan Jaka Umbaran sejak masih usia belia mengembara dari satu desa ke desa lainnya itulah yang melatarbelakangi  sebutan itu. Jaka Umbaran sebenarnya putra asli Ujungpangkah. Ia putra Pendel Wesi bin Jayeng Katon.
Jaka Umbaran memang senang lelaku dengan mengembara sambil mengamalkan ilmu yang telah diwariskan oleh orang tuanya yang terkenal sangat sakti dan disegani baik oleh kawan maupun lawan. Kedigdayaan Pendil Wesi ayahnya tidak diragukan lagi. Belanda sendiri merasa kewalahan menghadapi cucu Sunan Bonang itu. Berbagai uapaya telah dilakukan oleh kompeni Belanda untuk menangkap hidup atau mati namun selalu mengalami kegagalan. Sampai wafat pun jasad Pendel Wesi masih dicari-cari oleh Belanda sehingga kuburannya di Ujungpangkah dirahasiakan oleh kluarganya.
Dalam pengembaraan itu Jaka Umbaran sampai di wilayah yang sekarang bernama dukun. Di tempat itu hatinya merasa cocok tinggal lebih lama. Ia menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat dan sekitarnya sambil memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan dalam hal ketabiban.
Mula-mula hanya satu dua masyarakat yang datang kepadanya untuk meminta pertolongan menyelesaikan persolanan yang dihadapi. Lama-lama yang datang kepadanya semakin banyak. Dari mulut pasien yang merasa berhasil ditolong itu kabar adanya seorang yang mempunyai ilmu linuwih itu menyebar ke kana-mana.
Jaka Umbaran akhirnya merasa kewalahan menerima tamu-tamunya yang berasal dari berbagai daerah. Namun demikian tidak membuat dirinya menjadi sombong. Ia tetap bersahaja kepada siapapun. Bahkan ia masih menyempatkan mendatangi panggilan ke rumah pasiennya. Kadangkala pasien yang memanggil itu tempat tinggalnya  berada di wilayah selatan Bengawan Solo. Ia tetap memenuhi panggilan itu disela-sela kesibukannya menerima tamu-tamunya. Bila ia mendatangi pasiennya di sebarang Bengawan Solo, ia lalui sungai itu tanpa menggunakan perahu atau lainnya. Ia mampu berjalan di atas air.
Ketinggian ilmu Jaka Umbaran memang telah banyak dikagumi banyak orang. Saat masih anak-anak, ia bisa menyambung tali duk yang sudah terpotong kecil-kecil dan sudah dicampur dengan dempul menjadi tali duk yang utuh. Bahkan kapal Mbok Roro Kunti menjadi sakti bisu kesaktiannya. Puing-puing kapal itu sampai kini masih menjadi bukti keperkasaannya..Gara-gara anak buah kapal itu tidak mengizini Jaka Umbaran untuk ikut menumpang berlayar menemui Pendel Wesi di Mesir, kapal itu terpaku di tempatnya tidak bisa bergerak hingga kini. Tempat itu kini merupakan area pertambakan dengan sebutan tambak Kunti.
Di wilayah Dukun Jaka Umbaran sudah kondang ke mana-mana  sebagai seorang dukun sakti. Wilayah itu seakan-akan menjadi ikon dukun. Lama-lama ikon itu menjadi nama desa yang ditempati oleh Jaka Umbaran. Desa Dukun rupanya menjadi tempat pengabdiannya kepada masyarakat dan sebagai tempat perjuangan penyebaran agama Islam. Ia rela meninggalkan Ujungpangkah sebagai tanah kelahirannya untuk menetap di Desa Dukun. Apalagi setelah ia terpikat dengan seorang gadis wilayah utara Dukun. Ia menikah dengan gadis itu dan menetap di tempat itu. Di tempat itu ia menanam pohon asem sebagai tanda untuk mempermudah tamu-tamu yang mencarinya. Tempat tinggalnya akhirnya terkenal dengan sebutan desa Lasem.
Dari perkawinan dengan gadis desa Lasem, cicit sunan Bonang itu dikaruniai delapan orang anak. Salah satu putranya yang mewarisi ilmunya dan meneruskan perjuangan Jaka Umbaran dikenal dengan panggilan  Mbah Jangan. Meski masih kecil ia dipanggil dengan sebutan Mbah klarena ilmunya yang tua.
Jaka Umbaran bin Pendil Wesi bin Jayeng Katon bin Sunan Bonang itu berjuang di Lasem dan sekitarnya hingga wafat. Ia dimaqbarahkan di desa Lasem di bawah pohon yang ada prasastinya. 

Selasa, 25 Oktober 2011

Nyai Jika Wanita Ahli Strategi Perang



Nyai Jika Wanita Ahli Strategi Perang
Oleh: Masnukhan, S. Pd.
(Tenaga Edukatif SMPN 1 Ujungpangkah Gresik)

Nama Nyai Jika bagi telinga penduduk Ujungpangkah sudah tidak asing lagi. Nama itu sangat merakyat dari dulu hingga kini. Kebesaran nama Nyai Jika tidak lekang kena panas dan tidak lapuk kena hujan. Namanya melekat di hati penduduk Ujungpangkah.
Nyai Jika sebenarnya nama panggilan bukan nama asli. Nama itu yang dikenang dan diingat penduduk Ujungpangkah. Siapa nama aslinya? Sampai saat ini masih belum ada referensi yang dijadikan rujukan. Menurut H. Husen Bawafi, seorang pemerhati sejarah Ujungpangkah tempo dulu dari Ujungpangkah, mengatakan bahwa nama  asli Nyai Jika adalah Siti Zuliakhoh. Pendapat lain mengatakan nama aslinya adalah Jiktu Ilaika atau Jiktuka. Bagi penduduk Ujungpangkah tidak begitu penting memperdebatkan hal itu.
Penduduk Ujungpangkah memanggil dengan sebutan Nyai Jika karena beliau istri seorang kiyai. Menurut Syekh Muridin, keturunan kelimat Sunan Bonang Tuban, dalam bukunya menulis bahwa Nyai Jika adalah istri Syekh Jayeng Katon. Syekh Jayeng Katon adalah putra Sunan Bonahg Tuban yang mengembara sambing mengembangkan agama Islam dan akhirnya menetap di Ujungpangkah. Sedang panggilan Jika dari kata haji dan Mekkah.Beliau dipanggil Ji karena sudah melaksanakan ibadah haji dan beliau keturunan orang Mekkah.
Nyai Jika melaksanakan ibadah haji berangkat dari pondok Sunan Bonang Tuban, tempat pondok mertuanya. Pada saat pergi naik haji beliau sudah mempunyai seorang putra yang dikenal dengan panggilan Pnedil Wesi. Bertahun-tahun beliau meninggalkan keluarganya di Tuban. Beliau lama di Mekkah bersama keluarganya. Keluarganya membujuknya agar beliau tidak kembali ke Tuban agar tetap bisa tinggal bersama keluarga di Mekkah. Namun, beliau  tetap kembali ke Tuban. Beliau sangat merindukan putra dan suaminya yang ditinggalkan.
Saat tiba di pondok Sunan Bonang mertunya, suami dan putranya sudah tidak ada. Jayeng Katon suaminya, Pendil Wesi putranya, bahkan Jayeng Rono adik iparnya juga sudah pergi meninggalkan pondok Bonang Tuban. Mereka kini tinggal di Ujungpangkah untuk mengarkan Islam. Atas petunjuk Sunan Bonang, Nyai Jika pergi meninggalkan pondok Bonang untuk menyusul ke tempat Jayeng Katon dan putranya berada. Beliau berjalan mengikuti aliran air Bengawan Solo.
Nyai Jika berkumpul kembali dengan keluarganya yang kini tinggal di tepi pantai Ujungpangkah. Rumah tinggal Jayeng Katon sekaligus tempat pondok Pangkah kini menjadi Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah. Setelah lama tinggal di pondok Pangkah, Nyai Jika dibuatkan rumah sendiri di wilayah timur pondok Pangkah. Tempat tinggal beliau yang baru dinamai Seng. Nama itu dipilih Nyai Jika untuk mengenang nama tempat tinggal kelahirannya di Seng Mekkah.
Di Ujungpangkah Nyai Jika dikaruniai empat orang putra lagi yakni Jaka Karang Wesi, Jaka Berek Sawonggaling, Jaka Sekintel Cinde Amo, dan Jaka Slining. 
Kedamaian hidup Nyai Jika beserta keluarga di Seng terusik dengan datangnya kapal Belanda. Kapal Belanda itu berlabuh di pelabuahan Pangkah tidak jauh dari tempat tinggal Nyai Jika. Saat itu wilayah Ujungpangkah masih berupa pansdai belum ada ujung seperti sekarang ini. Kapal Belanda itu membawa pasukan. Mereka membangun markas tak jauh dari tempat tinggal Nyai Jika. Setiap pagi dan sore pasukan Belnada itu mengadakan apel bendera.
Kedatangan Pasukan Belanda di wulayah Ujungpangkah menjadi beban pikiran Nyai Jika dan keluarganya. Apalagi waktu itu Jayeng Katon sudah lama meninggalkan Ujungpangkah untuk pergi berdakwah ke daerah-daerah yang membutuhkan sambil bersilatur rahim ke sanak keluarga dan santri-santri yang pernah menimba ilmu di pondoknya. Nyai Jika tidak ingin perjuangan suaminya mengislamkan penduduk setempat terganggu dengan keberadaan pasukan Belanda.  Disamping itu beliau tidak menginginkan wilayah Ujungpangkah diduduki penjajah Belanda. Jika hal itu terjadi maka akan menjadi sia-sia perjuangan suaminya. Sebelum pasukan Belanda itu menanamkan pengaruhnya di wilayah Ujungpangkah, mereka harus dienyahkan dari bumi Ujungpangkah.
Sepak terjang Belanda hari demi hari meresahkan penduduk Ujungpangkah, Nyai Jika dan kelima putranya. Mereka sudah sering medengar bahkan menyaksikan sendiri sepak terjang Belanda di wilayah-wilayah yang didudukinya. Maklum, kelima putra Nyai Jika itu disamping sebagai pemangku pondok di pondoknya masing-masing. Mereka juga sering berdakwah dari satu daerah ke daerah yang lain. Malah, mereka sering berkolaborasi dalam berdakwah. Kelompok dakwah mereka dikenal dengan nama Satrio Pandowo. Mereka terdiri dari lima orang putra pasangan Nyai Jika  dengan Jayeng Katon.
Di wilayah-wilayah yang didudukinya Belanda mengambil tanah milik penduduk. Penduduk yang membangkang akan disiksa. Para penduduk itu dipaksa menjadi pekerja-pekerja Belanda. Mereka mengerjakan sawah ladang milik penduduk yang  sudah beralih milik itu.
Nyi Jika dan kelima putranya tidak rela jika hal itu terjadi di wilayah Ujungpangkah. Mereka merasa bertanggung jawab akan nasib penduduk Ujungpangkah. Mereka tidak mengharapkan penduduk Ujungpangkah akan bernasib sama dengan penduduk-penduduk lain yang dikuasai dan dijajah oleh Belanda. Oleh karena itu, mereka mengadakan pertemuan rahasia untuk mengenyahkan kompeni Belanda dari bumi Ujungpangkah sebelum mereka sendiri yang dienyahkan. Mereka menyusun siasat untuk menyingkirkan Belanda dari bumi Ujungpangkah. Hadir dalam pertemuan itu kelima putra Nyai Jika yaitu Pandel Wesi, Jaka Karang Wesi, Jaka Berek Sawonggaling, Jaka Sekintel Cinde Amo, dan Jaka Sekintel alias Jaka Tingkir. Juga hadir Maskiriman dan Sayid Mesir. Jayeng Katon tidak ada dalam pertemuana itu karena ia sudah lama meninggalkan Ujungpangkah.Pertemuan itu diadakan di pesanggraan Tawang Alun putra Jaka Karang Wesi. Pertemuan itu diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh Nyai Jika memohon keselamatan dari Allah dan kemenangan dalam mengusir Belanda.
Pada malam yang telah ditentukan mereka melaksanakan siasat yang telah disepakati dalam pertemua tertutup itu. Satrio Pandowo, Maskiriman, Sayid Mesir beserta para santri bergerak maju mengepung maskas Belanda. Tak lama mereka berhamburan menyerbu markas Belanda. Orang-orang Belanda yang berada di markas itu kalang kabut. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri dari serangan. Mereka banyak yang tidak sempat mengambil senjata yang selalu mereka  tenteng kemana-mana. Mereka bingung karena tempat itu telah dikepung dari segala penjuru. Mereka dapat meloloskan lari ke arah barat. Orang-orang Belanda yang terbirit-birit itu dikejar oleh Cinte Amo beserta santrinya hingga sampai di Unusan. Komandan tentara Belanda itu larinya terpotong Cinde Amo. Ia dihadang Cinde Amo. Peluruhnya dimuntahkan ke Cinde Amo. Berondongan suara memekakkan telinga. Tembakan itu tak melukai sedikitpun tubuh Cinde Amo yang kusut itu. Komandan itu keder melihat yang diberondong tetap tegar. Pelurunya yang dimuntahkasn terbuang dengan percuma. Tak seorang yang terluka akibat tembakan itu. Cinde Amo mengunus keris dari werangkanya.
“Cresss……………”. Keris Cinde Amo merobek perut Komandan Belanda. Isi perut komandan itu terurai keluar terkena keris Cinde Amo. Darah segar menyembur akibat tusukan kerisnya. Komandan itu masih sempat lari beberapa meter ke arah barat sambil menyeberangi rawa-rawa. Komandan itu ngerobyok rawa-rawa sambil memegangi perutnya yang robek. Darahnya membanjiri air di rawa-rawa Krobyokan itu. Rawa-rawa itu menjadi seperti lautan darah. Komandan beserta anak buahnya itu berusaha lari dari kejaran Cinde Amo beserta santri-santrinya. Mereka dilurur dengan galar Cinde Amo. Di barat Pondok Maskiriman komandan tergeletak karena kehabisan darah. Ia mati tertusuk keris Cinde Amo warisan dari Syeh Subakir. Tempat komandan itu dikubur dinamai Kuburan Londo (Kuburan Belanda). Kini kuburan itu bernama kuburan Maskiriman.
Mengetahui komandan mereka tergeletak tak bergerak di tanah, orang-orang Belanda itu lari ke arah utara. Mereka ingin menyelamatkan diri mereka masing-masing. Santri-santri Cinde Amo terus memburunya. Di depan mereka telah dihadang oleh Jaka Karang Wesi dan Sayid Mesir. Mereka menghadang orang-orang Belanda yang lari menuju ke arah utara itu. Sayid Mesir sambil membawa lampu ting menunngu kedatangan orang-orang Belanda yang melarikan diri ke arahnya Lampu ting itu digunakan untuk menerangi malam yang pekat itu. Tempat itu dinamakan Mbitingan.
Tentara Belanda ketakutan (Jawa: buyuten). Di hadapan mereka tampak orang tinggi besar seperti raksana yang siap melumatkan tubuhnya. Padahal itu hanya bayangan Sayid Mesir terkena cahaya lampu ting. Di Rebuyut mereka dahajar Jaka Karang Wesi, Sayid Mesir dan para santrinya. Mereka diobrak-abrek sampai kocar kacir sampai takut. Tempat itu dinamai Rebuyut.
Dengan tenaganya yang tersisa orang-orang Belanda itu berlari ke arah barat ke Kacak. Pendel Wesi, Jaka Slining alias Jaka Tingkir dan santrinya menghadang di Sabilan. Pendel Wesi mengobarkan semangat jihad fi sabilillah kepada para santri-santrinya. Di tempat yang  sekarang bernama Sabilan itu mereka menghajar orang-orang Belanda itu habis-habisan. Mereka dijadikan bulan-bulanan para santri Pendel Wesi. Mereka di mbek-embek tanpa ampun lagi. Seragam yang dipakai dipelorot. Yang menempel di badanya tinggal katok tok.. Tempat kejadian itu dinamai Bekuto.
Orang-orang Belanda yang sudah tak berdaya itu diseret hingga tubuhnya luka-luka (Jawa: biblak) . Jaka Berek Sawonggaling dan para santrinya beramai-ramai menenyet orang-orang Belanda di jalanan. Malam yang tiada berbintang itu menjadi saksi ketidakberdayaan orang-orang Belanda. Mereka sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk melawan. Nasibnya sudah di ujung tanduk. Mereka tinggal menunggu ajal yang segera menjemputnya. Tempat Peristiwa itu dikenal dengan nama Ngablak.
Dari Ngablak tubuh orang-orang Belanda itu diseret ke tepi pantai. Mereka akan dibuang ke pantai agar menjadi santapan ikan-ikan. Santri-santri itu menyeret mereka menuju pantai Ujungpangkah. Namun, baru sampai di Pohon Asem Gerowok. Asem yang gerowok karena memang digerowoki oleh Jaka Berek Sawonggaling sebagai tempat menyimpan senjata tombak-tombak. Para santri itu menghentikan langkahnya.
“Berhenti. Jangan langsung lemparkan orang-orang Belanda itu ke pantai. Habisi dulu nyawanya.,”teriak Sawonggaling.
Sawonggaling benar-benar memuncak kemarahannya sampai ke ubun-ubun. Ia sangat membenci Belanda. Belanda telah menghianatinya. Ia menang dalam sayembara di kabupaten Surabaya untuk menduduki kursi bupati. Belanda dengan akal bulusnya berupaya menggagalkannya. Penghianatan itu tidak dapat dilupakan sepanjang hidupnya.
Tanpa dikomando, para santri mengambil tombok-tombak yang tersimpan di Asem Growok. Tombak-tombak itu mereka gunakan untuk menusuk tubuh orang-orang Belanda. Tubuh orang Belanda itu kowal-kowel, growok-growok terkena ujung tombak yang tajam itu. Mereka dibantai dengan tombak-tombak. Tubuh mereka sudah tidak bergerak-gerak lagi. Tubuh-tubuh yang sudah dari nyawanya itu diseret ke tepi pantai Ujungpangkah. Mayat-mayat mereka dilemparkan secara bertumpuk. Tumpukan mayat sampai mundung-mundung. Tempat peristiwa itu terjadi dinamai Pundung. Tumpakan mayat-mayat itu dibiarkan begitu saja oleh para santri Jaka Berek  Tombak-tombak yang baru digunakan untuk membantai orang-orang Belanda itu dikumpulkan dan diletakkan di samping batu. Tempat itu dinamakan Bakwatu.
Usai menghabisi orang-orang Belanda, Santrio Pandowo dan para santri beramai-ramai menuju ke Seng. Masih ada satu tugas yang harus diselesaikan. Kapal Belanda yang berada di pantai Seng Ujungpangkah itu harus ditenggelamkan. Kapal itu ditenggelamkan bersama tenggelamnya angan-angan orang-orang Belanda yang akan menguasai wilayah Ujungpangkah. Kapal itu dilubangi beramai-ramai. Air laut mulai mengenangi lambung kapal akibat lubang-lubang itu. Sedikit demi sedikit kapal itu mulai tenggelam. Para santri dengan bertakbir turun dari kapal sebelum kapal itu ambles ke dasar laut. Tak lama kemudian kapal itu tenggelam ke dasar laut. Hanya tiang bendera yang ada di atas kapal itu yang masih tampak dari permukaan air.
Beberapa hari setelah kejadian penumpasan orang-orang Belanda itu, di sepanjang pantai Ujungpangkah dipenuhi dengan set (Indonesia: ulat) yang merata Ternyata para penduduk yang datang ke tempat itu terkesima karena di sepanjang pantai Ujungpangkah itu rata dengan ulat-ulat. Ulat-ulat itu setelah ditelusuri sumbernya ternyata berasal dari tumpukan mayat-mayat orang-orang Belanda yang dibiarkan ditumpuk tanpa dikuburkan. Tempat itu dinamakan Setro.