Minggu, 30 Oktober 2011

TUGU HADIAH DARI KANJENG SEPUH SIDAYU GRESIK


TUGU DESA HADIAH DARI KANJENG SEPUH SIDAYU
Oleh: Masnukhan, S. Pd.
(Tenaga Edukatif SMPN 1 Ujungpangkah Gresik)

Pada masa kerajaan sampai masa penjajahan, Sidayu menjadi salah satu kabupaten di nusantara. Nama-nama bupati yang pernah memerintah di kabupaten Sidayu adalah sebagai berikut:
  1. Raden Kromo Wijaya
  2. Adipati Probolinggo
  3. Raden Kanjeng Soewargo
  4. Raden Kanjeng Sido Ngawen
  5. Raden Kanjeng Sido Banten
  6. Kanjeng Kudus
  7. Kanjeng Djoko
  8. Kanjeng Sepuh
  9. Kanjeng Pangeran
  10. Ragen Badrun
Di antara kesepuluh bupati Sidayu itu, nama Kanjeng Sepuh yang sangat melekat di hati masyarakat Sidayu bahkan menjadi tokoh panutan dan kebanggaan masyarakat Sidayu. Nama asli Kanjeng Sepuh adalah Raden Adipati Soerjadiningrat.
Kanjeng Sepuh tersohor lantaran beliau adalah seorang bupati yang ulama atau ulama yang menjadi seorang bupati. Beliau sangat dicintai masyarakatnya karena beliau sangat memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya terutama kawula alit. Kecintaan itu hingga kini tidak luntur. Hal ini dibuktikan diantaranya dengan diabadikannya nama beliau sebagai nama Majid Besar Sidayu dan nama Lembaga Pendikan terbesar di kecamatan Sidayu yaitu Taman Pendidikan Kanjeng Sepuh atau lebih dikenal dengan singkatan TPKS.
Pada masa hidupnya beliau mempunyai kegemaran memelihara kuda baik sebagai kuda tunggangan maupun kuda penarik kereta. Suatu saat beliau mendengar bahwa di Ujungpangkah ada seorang yang mempunyai kuda yang bagus. Orang itu bernama Jayeng Katon. Beliau ingin sekali mendatanginya untuk berguru cara merawat kuda. Beliau terkagum-kagum melihat kuda Jayeng Katon. Kuda itu badannya tinggi, tubuhnya ramping, kulitnya hitam, bulunya mengkilat. Kuda itu diberi nama kuda Sembrani. Kuda iyu sangat penurut kepada majikannya. Meskipun tan ada seutas tali yang mengikatnya, kuda tidak mau pergi meninggalkan tempatnya. Kuda pintar sekali terhadap bahasa isyarat yang diberikan oleh majikannya. Kuda itu menuruti segala perintah tuannya.
Kanjeng Sepuh sangat takjub dan tertarik terhadap kuda itu. Beliau ingin sekali mempunyai kuda-kuda seperti kuda yang dimiliki Jayeng Katon. Beliau lebih takjub lagi kepada pemilik kuda itu. Jayeng Katon ternyata seorang ulama yang alim, bersahaja, dan memiliki ilmu kanoragan yang tinggi. Jayeng Katon juga sebagai pemangku pondok Ujungpangkah Beliau bisa mengukur kedalam ilmu seseorang karena beliau sendiri seorang ulama.
 Pada pertemuan itu Kanjeng Sepuh meminta kepada Jayeng Katon untuk merawatkan kuda-kuda beliau. Beliau ingin sekali memiliki kuida-kuda yang bagus-bagus dan penurut. Jayeng Katon tidak dapat menolak permintaan bupati di wilayah Sidayu itu. Sebagai penduduk yang baik Jayeng Katon merasa bangga bisa memenuhi permintaan bupatinya.
Kanjeng Sepuh mengirimkan kuda-kuda beliau ke Ujungpangkah untuk dirawatkan kepada Jayeng Katon. Kuda-kuda itu ditempatkan di sebuah tanah lapang sekitar enam ratus meter ke timur dari pondok Ujungpangkah atau rumah Jayeng Katon. Kuda-kuda itu dibiarkan bebas di tanah lapang itu. Jayeng Katon menyediakan tempat berteduh kuda-kuda itu secara terbuka. Tidak ada pagar atau batas. Namun, kuda-kuda itu tidak meninggalkan area tanah lapang tempat merumput. Tempat itu dikenal dengan nama Monok karena di tempat itu banyak penekan atau tumpukan kotoran kuda. Di bagian selatan tanah lapang itu disediakan jambangan atau bejana yang selalu penuh diisi air untuk tempat minum kuda-kuda Kanjeng Sepuh. Tempat itu dikenal dengan sebutan Jambangan.
Suatu ketika, Kanjeng Sepuh bersilaturrahim ke Pondok Ujungpangkah yang diasuh oleh Jayeng Katon sambil ingin melihat-melihat kuda-kuda yang telah dititipkan. Beliau sangat senang melihat kuda-kuda beliau. Beliau tidak menyangka kuda-kuda itu berubah


menjadi kuda-kuda yang bangus dan penurut. Saking senangnya, beliau menghadiahi lima ekor kuda untuk kelima putra Jayeng Katon, yaitu Pendel Wesi, Jaka Karang Wesi, Jaka Berek Sawonggaling, Jaka Sekintel Cinde Amo, dan Jaka Slining.
Ketika Kanjeng Sepuh di Ujungpangkah beliau tertarik sekali melihat pohon-pohon asem yang tumbuh di Ujungpasngkah. Pikiran beliau melayang ke wilayah Sidayu yang gersang karena kurangnya penghijauan. Pikiran itu diungkapkan kepada Jayeng Katon. Jayeng Katon mengerti kemauan tamunya itu. Jayeng Katon menyanggupinya.
Suatu malam yang telah dijanjikan Jayeng Katon datang ke Sidayu, beliau menanam bibit-bibit pohon asem dari Ujungpangkah itu di sepanjang kanan kiri jalan di wilayah Sidayu sesuai dengan permintaan Kanjeng Sepuh. Bibit-bibit pohon asem itu tumbuh dan berkembang dengan baik di Sidayu. Pohon-pohon itu hingga kini masih menjadi saksi kesetiaan seorang penduduk kepada pejabatnya.
Untuk kesekian kalinya Kanjeng Sepuh hadir di Ujungpangkah. Kali ini beliau hadir dengan membawa persoalan yang berat. Betapa tidak, beliau meminta kepada Jayeng Katon untuk menghadapi seekor banteng. Kanjeng Sepuh menerima sayembara dari atasannya bahwa bupati yang bisa mengalahkan banteng akan dinaikkan pangkatnya dan diperluas wilayah kekuasaannya.
Jayeng Katon alias Jiwosuto berpikir dengan tenang dan diam beberapa saat sebelum memberikan jawaban terhadap permintaan itu. Dengan nada rendah Jayeng Katon akan berusaha membantunya. Berbunga-bunga hati Kanjeng Sepuh mendengar jawaban yang keluar dari mulut orang yang sangat dikagumi itu.
Pada saat yang telah ditentukan Kanjeng Sepuh, Jayeng Katon dan rombongan dari pejabat kabupaten Sidayu berangkat menuju alun-alun Tuban untuk menghadiri sayembara itu. Sebelum berangkat Jayeng Katon meminta kepada Kanjeng Sepuh untuk bertukar baju dengan baju dengan Jayeng Katon. Setelah bertukar baju wajah Jayeng Katon berubah menjadi Kanjeng Sepuh. Begitu juga sebaliknya.
Dalam sayembara adu dengan banteng itu Jayeng Katon yang berpakaian kebesaran kabupaten Sidayu dapat mengalahkan banteng. Banteng itu dikeplak menjadi hancur berkeping-keping. Rombangan Kanjeng Sepuh pulang ke Sidayu dengan membawa kemenangan dan perasaan lega.
Atas jasa-jasa Jayeng Katon, Kanjeng Sepuh memberikan beberapa penghargaan atau hadiah kepada Jayeng Katon. Beliau memberikan beslit kepada Jayeng Katon sebagai naib Ujungpangkah  selama tujuh turunan, Memberikan kewenangan penuh kepada Jayeng Katon untuk mengatur pemerintahan wilayah Ujungpangkah.Ujungpangkah dijadikan sebagai tanah merdikan  atau semacam otonom di bawah kekuasaan Jayeng Katon, namun masih tetap berada di bawah wilayah kabupaten Sidayu.
Disamping itu, Kanjeng Sepuh membangunkan tugu di dua pintu masuk Ujungpangkah. Satu tugu di pintu masuk dari timur dan satu tugu di pintu masuk dari barat. Namun sayang, sekali lagi sayang tugu bersejarah itu kini tinggal satu, yaitu  yang berada di di pintu masuk dari arah timut. Kini tempatnya berada di kampung Tampomas Pangkahwetan Ujungpangkah. Tugu itu pun kini merana karena pemerintah setempat tidak pernah memperhatikan. Mungkin  karena ketidaktahuannya. Tugu yang berada di pintu masuk dari arah barat (sekarang berada di sisi makam Tembok Watu Pangkahwetan) sudah lama roboh sekitar tahun 1970-an karena dimakan usia dan tidak ada yang peduli merawatnya. Kewajiban generasi penerus bangsa untuk melestarikan aset peninggalan bersejarah sebeleum aset-aset itu hilang ditelan masa. Oh, alangkah sayangnya.

Kamis, 27 Oktober 2011

ASAL MUASAL DESA DUKUN GRESIK


DUKUN, DESA KELAHIRAN BUPATI KETURUNAN JAKA TINGKIR
Oleh: Masnukhan, S. Pd.
(Tenaga Edukatif SMPN 1 Ujungpangkah Gresik)

Desa Dukun tiba-tiba menjadi buah bibir masyarakat Gresik, Jawa Timur, bahkan seluruh Indonesia. Desa yang menjadi ibukota kecamatan Dukun itu sebenarnya seperti desa-desa lain, tidak ada yang istimewa dari desa itu. Namun, nama desa itu tiba-tiba banyak disebut dan diperbincangkan banyak orang. Nama desa itu mengorbit bak artis yang sedang naik daun sejalan dengan terpilihnya Drs. K.H. Robbah Ma’sum, M. M. sebagai bupati Gresik pertama yang terpilih pada era reformasi.
Bupati yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa itu yang telah menorehkan tinta emas dalam pemerintahan kabupaten Gresik Betapa tidak, euforia reformasi yang ditandai dengan berdirinya partai-partai baru bentukan rakyat itu telah mengantarkan         Drs. K. H. Robbah Ma’sum, M. M., keturunan tokoh legendaris Jaka Tingkir,  sebagai bupati yang muncul dari dari bawah. Tidak  seperti pada masa Orde Baru, bupati itu dianggkat berdasarkan ‘restu’ dari atas. Apalagi, beliau adalah putra daerah. Disamping itu beliau sebagai bupati pertama yang terpilih dalam pemilihan bupati secara langsung oleh rakyat. Nama beliau layak diabadikan dan dikenang oleh segenap anak bangsa yang berada di kabupaten Gresik khususnya.
Terpilihnya Drs. K.H. Robbah Ma’sum, M. M. sebagai bupati ikut mengangkat nama desa Dukun ke permukaan. Sebelumnya nama desa dukun belum banyak dikenal orang. Bahkan perkataan dukun sendiri kurang begitu mendapat tempat di pikiran kaum intelektual. Kata itu sangat berkaitan erat dengan hal-hal yang mistis bahkan cenderung berkonotasi negatif. Hal itu wajar karena bangsa Indonesia ratusan tahun menganut agama Hindu dan Buda. Bahkan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme masih melekat pada sebagian bangsa Indonesia. Begitu juga halnya penggunaan istilah dukun masih terpengaruh oleh paham lama.
Lewat tulisan ini akan sedikit mengungkap mengapa desa itu dinamai desa Dukun sebagai salah satu wacana bagi generasi muda untuk mengetahui asal-muasal nama desanya. Hal ini amat penting agar generasi muda tidak terputus dari akar budaya bangsanya.
Bila kita mendengar kata dukun, bayangan kita akan teringat pada sosok orang yang berpenampilan nyentrik, sangar, berpakaian kumal, badanya berbau kemenyan, mengagung-agung benda-benda yang dituahkan dan sebagainya. Dukun adalah sosok orang yang dipercaya mempunyai ilmu linuwih yang mampu menolong pasienya yang memerlukan jasanya hanya dengan kekuatan mantra atau doa-doa. Dukun dipercaya bisa membantu mengantarkan kesuksesan keperluan pasiennya seperti dalam bidang pengobatan, perjodohan, kepangkatan, pelarisan dagangan, dan lainnya.
Image masyarakat sudah mendarah daging terhadap keberadaan dukun. Masyarakat menggeneralisasikan bahwa orang yang dipercaya mempunyai ilmu linuwih yang mampu menolong pasienya dengan kekuatan mantra atau doa-doa dikategorikan dukun. Padahal dalam kenyataan di masyarakat banyak digunakan istilah dukun dalam pengertian yang lebih luas seperti dukun bayi, dukun pijat, dukun anak, dsb.
 Dalam dunia perdukunan sendiri dukun dikategorikan menjadi dua. Ada dukun abangan dan ada dukun putihan. Dukun abangan untuk menyebut dukun beraliran hitam dan dukun putihan untuk menyebut dukun beraliran putih.  Kata abangan berasal dari kata aba’an dari bahasa Arab yang berati melanggar sedangkan kata putihan juga berasal dari bahasa Arab muthi’an yang berarti taat. Maksudnya, aba’an bermakna melanggar larangan Allah sedangkan muthi’an bermakna taat terhadap perintah Allah.
Kembali ke pokok permasalahan. Sekarang apa hubungan antara nama desa Dukun dengan perdukunan. Apakah di tempat itu dulu menjadi tempat  para dukun sehingga desa itu diberi nama Dukun.
Menurut buku Primbon Sunan Bonang.disebutkan bahwa dulu di wilayah itu (sekarang Dukun) hidup seorang yang sakti mandraguna dan juga menguasai ilmu ketabibab atau ‘pedukunan’. Orang itu dikenal dengan sebutan Jaka Umbaran. Nama itu merupakan panggilan sehari-hari yang diberikan  ayahnya kepadanya. Kebiasan Jaka Umbaran sejak masih usia belia mengembara dari satu desa ke desa lainnya itulah yang melatarbelakangi  sebutan itu. Jaka Umbaran sebenarnya putra asli Ujungpangkah. Ia putra Pendel Wesi bin Jayeng Katon.
Jaka Umbaran memang senang lelaku dengan mengembara sambil mengamalkan ilmu yang telah diwariskan oleh orang tuanya yang terkenal sangat sakti dan disegani baik oleh kawan maupun lawan. Kedigdayaan Pendil Wesi ayahnya tidak diragukan lagi. Belanda sendiri merasa kewalahan menghadapi cucu Sunan Bonang itu. Berbagai uapaya telah dilakukan oleh kompeni Belanda untuk menangkap hidup atau mati namun selalu mengalami kegagalan. Sampai wafat pun jasad Pendel Wesi masih dicari-cari oleh Belanda sehingga kuburannya di Ujungpangkah dirahasiakan oleh kluarganya.
Dalam pengembaraan itu Jaka Umbaran sampai di wilayah yang sekarang bernama dukun. Di tempat itu hatinya merasa cocok tinggal lebih lama. Ia menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat dan sekitarnya sambil memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan dalam hal ketabiban.
Mula-mula hanya satu dua masyarakat yang datang kepadanya untuk meminta pertolongan menyelesaikan persolanan yang dihadapi. Lama-lama yang datang kepadanya semakin banyak. Dari mulut pasien yang merasa berhasil ditolong itu kabar adanya seorang yang mempunyai ilmu linuwih itu menyebar ke kana-mana.
Jaka Umbaran akhirnya merasa kewalahan menerima tamu-tamunya yang berasal dari berbagai daerah. Namun demikian tidak membuat dirinya menjadi sombong. Ia tetap bersahaja kepada siapapun. Bahkan ia masih menyempatkan mendatangi panggilan ke rumah pasiennya. Kadangkala pasien yang memanggil itu tempat tinggalnya  berada di wilayah selatan Bengawan Solo. Ia tetap memenuhi panggilan itu disela-sela kesibukannya menerima tamu-tamunya. Bila ia mendatangi pasiennya di sebarang Bengawan Solo, ia lalui sungai itu tanpa menggunakan perahu atau lainnya. Ia mampu berjalan di atas air.
Ketinggian ilmu Jaka Umbaran memang telah banyak dikagumi banyak orang. Saat masih anak-anak, ia bisa menyambung tali duk yang sudah terpotong kecil-kecil dan sudah dicampur dengan dempul menjadi tali duk yang utuh. Bahkan kapal Mbok Roro Kunti menjadi sakti bisu kesaktiannya. Puing-puing kapal itu sampai kini masih menjadi bukti keperkasaannya..Gara-gara anak buah kapal itu tidak mengizini Jaka Umbaran untuk ikut menumpang berlayar menemui Pendel Wesi di Mesir, kapal itu terpaku di tempatnya tidak bisa bergerak hingga kini. Tempat itu kini merupakan area pertambakan dengan sebutan tambak Kunti.
Di wilayah Dukun Jaka Umbaran sudah kondang ke mana-mana  sebagai seorang dukun sakti. Wilayah itu seakan-akan menjadi ikon dukun. Lama-lama ikon itu menjadi nama desa yang ditempati oleh Jaka Umbaran. Desa Dukun rupanya menjadi tempat pengabdiannya kepada masyarakat dan sebagai tempat perjuangan penyebaran agama Islam. Ia rela meninggalkan Ujungpangkah sebagai tanah kelahirannya untuk menetap di Desa Dukun. Apalagi setelah ia terpikat dengan seorang gadis wilayah utara Dukun. Ia menikah dengan gadis itu dan menetap di tempat itu. Di tempat itu ia menanam pohon asem sebagai tanda untuk mempermudah tamu-tamu yang mencarinya. Tempat tinggalnya akhirnya terkenal dengan sebutan desa Lasem.
Dari perkawinan dengan gadis desa Lasem, cicit sunan Bonang itu dikaruniai delapan orang anak. Salah satu putranya yang mewarisi ilmunya dan meneruskan perjuangan Jaka Umbaran dikenal dengan panggilan  Mbah Jangan. Meski masih kecil ia dipanggil dengan sebutan Mbah klarena ilmunya yang tua.
Jaka Umbaran bin Pendil Wesi bin Jayeng Katon bin Sunan Bonang itu berjuang di Lasem dan sekitarnya hingga wafat. Ia dimaqbarahkan di desa Lasem di bawah pohon yang ada prasastinya. 

Selasa, 25 Oktober 2011

Nyai Jika Wanita Ahli Strategi Perang



Nyai Jika Wanita Ahli Strategi Perang
Oleh: Masnukhan, S. Pd.
(Tenaga Edukatif SMPN 1 Ujungpangkah Gresik)

Nama Nyai Jika bagi telinga penduduk Ujungpangkah sudah tidak asing lagi. Nama itu sangat merakyat dari dulu hingga kini. Kebesaran nama Nyai Jika tidak lekang kena panas dan tidak lapuk kena hujan. Namanya melekat di hati penduduk Ujungpangkah.
Nyai Jika sebenarnya nama panggilan bukan nama asli. Nama itu yang dikenang dan diingat penduduk Ujungpangkah. Siapa nama aslinya? Sampai saat ini masih belum ada referensi yang dijadikan rujukan. Menurut H. Husen Bawafi, seorang pemerhati sejarah Ujungpangkah tempo dulu dari Ujungpangkah, mengatakan bahwa nama  asli Nyai Jika adalah Siti Zuliakhoh. Pendapat lain mengatakan nama aslinya adalah Jiktu Ilaika atau Jiktuka. Bagi penduduk Ujungpangkah tidak begitu penting memperdebatkan hal itu.
Penduduk Ujungpangkah memanggil dengan sebutan Nyai Jika karena beliau istri seorang kiyai. Menurut Syekh Muridin, keturunan kelimat Sunan Bonang Tuban, dalam bukunya menulis bahwa Nyai Jika adalah istri Syekh Jayeng Katon. Syekh Jayeng Katon adalah putra Sunan Bonahg Tuban yang mengembara sambing mengembangkan agama Islam dan akhirnya menetap di Ujungpangkah. Sedang panggilan Jika dari kata haji dan Mekkah.Beliau dipanggil Ji karena sudah melaksanakan ibadah haji dan beliau keturunan orang Mekkah.
Nyai Jika melaksanakan ibadah haji berangkat dari pondok Sunan Bonang Tuban, tempat pondok mertuanya. Pada saat pergi naik haji beliau sudah mempunyai seorang putra yang dikenal dengan panggilan Pnedil Wesi. Bertahun-tahun beliau meninggalkan keluarganya di Tuban. Beliau lama di Mekkah bersama keluarganya. Keluarganya membujuknya agar beliau tidak kembali ke Tuban agar tetap bisa tinggal bersama keluarga di Mekkah. Namun, beliau  tetap kembali ke Tuban. Beliau sangat merindukan putra dan suaminya yang ditinggalkan.
Saat tiba di pondok Sunan Bonang mertunya, suami dan putranya sudah tidak ada. Jayeng Katon suaminya, Pendil Wesi putranya, bahkan Jayeng Rono adik iparnya juga sudah pergi meninggalkan pondok Bonang Tuban. Mereka kini tinggal di Ujungpangkah untuk mengarkan Islam. Atas petunjuk Sunan Bonang, Nyai Jika pergi meninggalkan pondok Bonang untuk menyusul ke tempat Jayeng Katon dan putranya berada. Beliau berjalan mengikuti aliran air Bengawan Solo.
Nyai Jika berkumpul kembali dengan keluarganya yang kini tinggal di tepi pantai Ujungpangkah. Rumah tinggal Jayeng Katon sekaligus tempat pondok Pangkah kini menjadi Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah. Setelah lama tinggal di pondok Pangkah, Nyai Jika dibuatkan rumah sendiri di wilayah timur pondok Pangkah. Tempat tinggal beliau yang baru dinamai Seng. Nama itu dipilih Nyai Jika untuk mengenang nama tempat tinggal kelahirannya di Seng Mekkah.
Di Ujungpangkah Nyai Jika dikaruniai empat orang putra lagi yakni Jaka Karang Wesi, Jaka Berek Sawonggaling, Jaka Sekintel Cinde Amo, dan Jaka Slining. 
Kedamaian hidup Nyai Jika beserta keluarga di Seng terusik dengan datangnya kapal Belanda. Kapal Belanda itu berlabuh di pelabuahan Pangkah tidak jauh dari tempat tinggal Nyai Jika. Saat itu wilayah Ujungpangkah masih berupa pansdai belum ada ujung seperti sekarang ini. Kapal Belanda itu membawa pasukan. Mereka membangun markas tak jauh dari tempat tinggal Nyai Jika. Setiap pagi dan sore pasukan Belnada itu mengadakan apel bendera.
Kedatangan Pasukan Belanda di wulayah Ujungpangkah menjadi beban pikiran Nyai Jika dan keluarganya. Apalagi waktu itu Jayeng Katon sudah lama meninggalkan Ujungpangkah untuk pergi berdakwah ke daerah-daerah yang membutuhkan sambil bersilatur rahim ke sanak keluarga dan santri-santri yang pernah menimba ilmu di pondoknya. Nyai Jika tidak ingin perjuangan suaminya mengislamkan penduduk setempat terganggu dengan keberadaan pasukan Belanda.  Disamping itu beliau tidak menginginkan wilayah Ujungpangkah diduduki penjajah Belanda. Jika hal itu terjadi maka akan menjadi sia-sia perjuangan suaminya. Sebelum pasukan Belanda itu menanamkan pengaruhnya di wilayah Ujungpangkah, mereka harus dienyahkan dari bumi Ujungpangkah.
Sepak terjang Belanda hari demi hari meresahkan penduduk Ujungpangkah, Nyai Jika dan kelima putranya. Mereka sudah sering medengar bahkan menyaksikan sendiri sepak terjang Belanda di wilayah-wilayah yang didudukinya. Maklum, kelima putra Nyai Jika itu disamping sebagai pemangku pondok di pondoknya masing-masing. Mereka juga sering berdakwah dari satu daerah ke daerah yang lain. Malah, mereka sering berkolaborasi dalam berdakwah. Kelompok dakwah mereka dikenal dengan nama Satrio Pandowo. Mereka terdiri dari lima orang putra pasangan Nyai Jika  dengan Jayeng Katon.
Di wilayah-wilayah yang didudukinya Belanda mengambil tanah milik penduduk. Penduduk yang membangkang akan disiksa. Para penduduk itu dipaksa menjadi pekerja-pekerja Belanda. Mereka mengerjakan sawah ladang milik penduduk yang  sudah beralih milik itu.
Nyi Jika dan kelima putranya tidak rela jika hal itu terjadi di wilayah Ujungpangkah. Mereka merasa bertanggung jawab akan nasib penduduk Ujungpangkah. Mereka tidak mengharapkan penduduk Ujungpangkah akan bernasib sama dengan penduduk-penduduk lain yang dikuasai dan dijajah oleh Belanda. Oleh karena itu, mereka mengadakan pertemuan rahasia untuk mengenyahkan kompeni Belanda dari bumi Ujungpangkah sebelum mereka sendiri yang dienyahkan. Mereka menyusun siasat untuk menyingkirkan Belanda dari bumi Ujungpangkah. Hadir dalam pertemuan itu kelima putra Nyai Jika yaitu Pandel Wesi, Jaka Karang Wesi, Jaka Berek Sawonggaling, Jaka Sekintel Cinde Amo, dan Jaka Sekintel alias Jaka Tingkir. Juga hadir Maskiriman dan Sayid Mesir. Jayeng Katon tidak ada dalam pertemuana itu karena ia sudah lama meninggalkan Ujungpangkah.Pertemuan itu diadakan di pesanggraan Tawang Alun putra Jaka Karang Wesi. Pertemuan itu diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh Nyai Jika memohon keselamatan dari Allah dan kemenangan dalam mengusir Belanda.
Pada malam yang telah ditentukan mereka melaksanakan siasat yang telah disepakati dalam pertemua tertutup itu. Satrio Pandowo, Maskiriman, Sayid Mesir beserta para santri bergerak maju mengepung maskas Belanda. Tak lama mereka berhamburan menyerbu markas Belanda. Orang-orang Belanda yang berada di markas itu kalang kabut. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri dari serangan. Mereka banyak yang tidak sempat mengambil senjata yang selalu mereka  tenteng kemana-mana. Mereka bingung karena tempat itu telah dikepung dari segala penjuru. Mereka dapat meloloskan lari ke arah barat. Orang-orang Belanda yang terbirit-birit itu dikejar oleh Cinte Amo beserta santrinya hingga sampai di Unusan. Komandan tentara Belanda itu larinya terpotong Cinde Amo. Ia dihadang Cinde Amo. Peluruhnya dimuntahkan ke Cinde Amo. Berondongan suara memekakkan telinga. Tembakan itu tak melukai sedikitpun tubuh Cinde Amo yang kusut itu. Komandan itu keder melihat yang diberondong tetap tegar. Pelurunya yang dimuntahkasn terbuang dengan percuma. Tak seorang yang terluka akibat tembakan itu. Cinde Amo mengunus keris dari werangkanya.
“Cresss……………”. Keris Cinde Amo merobek perut Komandan Belanda. Isi perut komandan itu terurai keluar terkena keris Cinde Amo. Darah segar menyembur akibat tusukan kerisnya. Komandan itu masih sempat lari beberapa meter ke arah barat sambil menyeberangi rawa-rawa. Komandan itu ngerobyok rawa-rawa sambil memegangi perutnya yang robek. Darahnya membanjiri air di rawa-rawa Krobyokan itu. Rawa-rawa itu menjadi seperti lautan darah. Komandan beserta anak buahnya itu berusaha lari dari kejaran Cinde Amo beserta santri-santrinya. Mereka dilurur dengan galar Cinde Amo. Di barat Pondok Maskiriman komandan tergeletak karena kehabisan darah. Ia mati tertusuk keris Cinde Amo warisan dari Syeh Subakir. Tempat komandan itu dikubur dinamai Kuburan Londo (Kuburan Belanda). Kini kuburan itu bernama kuburan Maskiriman.
Mengetahui komandan mereka tergeletak tak bergerak di tanah, orang-orang Belanda itu lari ke arah utara. Mereka ingin menyelamatkan diri mereka masing-masing. Santri-santri Cinde Amo terus memburunya. Di depan mereka telah dihadang oleh Jaka Karang Wesi dan Sayid Mesir. Mereka menghadang orang-orang Belanda yang lari menuju ke arah utara itu. Sayid Mesir sambil membawa lampu ting menunngu kedatangan orang-orang Belanda yang melarikan diri ke arahnya Lampu ting itu digunakan untuk menerangi malam yang pekat itu. Tempat itu dinamakan Mbitingan.
Tentara Belanda ketakutan (Jawa: buyuten). Di hadapan mereka tampak orang tinggi besar seperti raksana yang siap melumatkan tubuhnya. Padahal itu hanya bayangan Sayid Mesir terkena cahaya lampu ting. Di Rebuyut mereka dahajar Jaka Karang Wesi, Sayid Mesir dan para santrinya. Mereka diobrak-abrek sampai kocar kacir sampai takut. Tempat itu dinamai Rebuyut.
Dengan tenaganya yang tersisa orang-orang Belanda itu berlari ke arah barat ke Kacak. Pendel Wesi, Jaka Slining alias Jaka Tingkir dan santrinya menghadang di Sabilan. Pendel Wesi mengobarkan semangat jihad fi sabilillah kepada para santri-santrinya. Di tempat yang  sekarang bernama Sabilan itu mereka menghajar orang-orang Belanda itu habis-habisan. Mereka dijadikan bulan-bulanan para santri Pendel Wesi. Mereka di mbek-embek tanpa ampun lagi. Seragam yang dipakai dipelorot. Yang menempel di badanya tinggal katok tok.. Tempat kejadian itu dinamai Bekuto.
Orang-orang Belanda yang sudah tak berdaya itu diseret hingga tubuhnya luka-luka (Jawa: biblak) . Jaka Berek Sawonggaling dan para santrinya beramai-ramai menenyet orang-orang Belanda di jalanan. Malam yang tiada berbintang itu menjadi saksi ketidakberdayaan orang-orang Belanda. Mereka sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk melawan. Nasibnya sudah di ujung tanduk. Mereka tinggal menunggu ajal yang segera menjemputnya. Tempat Peristiwa itu dikenal dengan nama Ngablak.
Dari Ngablak tubuh orang-orang Belanda itu diseret ke tepi pantai. Mereka akan dibuang ke pantai agar menjadi santapan ikan-ikan. Santri-santri itu menyeret mereka menuju pantai Ujungpangkah. Namun, baru sampai di Pohon Asem Gerowok. Asem yang gerowok karena memang digerowoki oleh Jaka Berek Sawonggaling sebagai tempat menyimpan senjata tombak-tombak. Para santri itu menghentikan langkahnya.
“Berhenti. Jangan langsung lemparkan orang-orang Belanda itu ke pantai. Habisi dulu nyawanya.,”teriak Sawonggaling.
Sawonggaling benar-benar memuncak kemarahannya sampai ke ubun-ubun. Ia sangat membenci Belanda. Belanda telah menghianatinya. Ia menang dalam sayembara di kabupaten Surabaya untuk menduduki kursi bupati. Belanda dengan akal bulusnya berupaya menggagalkannya. Penghianatan itu tidak dapat dilupakan sepanjang hidupnya.
Tanpa dikomando, para santri mengambil tombok-tombak yang tersimpan di Asem Growok. Tombak-tombak itu mereka gunakan untuk menusuk tubuh orang-orang Belanda. Tubuh orang Belanda itu kowal-kowel, growok-growok terkena ujung tombak yang tajam itu. Mereka dibantai dengan tombak-tombak. Tubuh mereka sudah tidak bergerak-gerak lagi. Tubuh-tubuh yang sudah dari nyawanya itu diseret ke tepi pantai Ujungpangkah. Mayat-mayat mereka dilemparkan secara bertumpuk. Tumpukan mayat sampai mundung-mundung. Tempat peristiwa itu terjadi dinamai Pundung. Tumpakan mayat-mayat itu dibiarkan begitu saja oleh para santri Jaka Berek  Tombak-tombak yang baru digunakan untuk membantai orang-orang Belanda itu dikumpulkan dan diletakkan di samping batu. Tempat itu dinamakan Bakwatu.
Usai menghabisi orang-orang Belanda, Santrio Pandowo dan para santri beramai-ramai menuju ke Seng. Masih ada satu tugas yang harus diselesaikan. Kapal Belanda yang berada di pantai Seng Ujungpangkah itu harus ditenggelamkan. Kapal itu ditenggelamkan bersama tenggelamnya angan-angan orang-orang Belanda yang akan menguasai wilayah Ujungpangkah. Kapal itu dilubangi beramai-ramai. Air laut mulai mengenangi lambung kapal akibat lubang-lubang itu. Sedikit demi sedikit kapal itu mulai tenggelam. Para santri dengan bertakbir turun dari kapal sebelum kapal itu ambles ke dasar laut. Tak lama kemudian kapal itu tenggelam ke dasar laut. Hanya tiang bendera yang ada di atas kapal itu yang masih tampak dari permukaan air.
Beberapa hari setelah kejadian penumpasan orang-orang Belanda itu, di sepanjang pantai Ujungpangkah dipenuhi dengan set (Indonesia: ulat) yang merata Ternyata para penduduk yang datang ke tempat itu terkesima karena di sepanjang pantai Ujungpangkah itu rata dengan ulat-ulat. Ulat-ulat itu setelah ditelusuri sumbernya ternyata berasal dari tumpukan mayat-mayat orang-orang Belanda yang dibiarkan ditumpuk tanpa dikuburkan. Tempat itu dinamakan Setro.

JAKA BEREK SAWONGGALING PUTRA UJUNGPANGKAH GRESIK


JOKO BEREK SAWONGGALING PUTRA UJUNGPANGKAH
Oleh: Masnukhan, S. Pd.

“Gung…gung…gung.”
Suara gong yang dibunyikan oleh prajurit kadipaten Surabaya itu mengundang orang-orang yang mendengarnya berkumpul. Orang-orang berlarian mendatangi tempat suara gong yang dibunyikan. Para penduduk segera berkerumun di tempat itu. Mereka ingin tahu ada berita penting apa yang akan disampaikan oleh para prajurit itu.
“Woro-woro, saya umumkan kepada semua warga kadipaten Surabaya bahwa kadipaten Surabaya mengadakan sayembaya. Siapa saja boleh mengikuti sayembara ini asal warga kadipaten Surabaya. Siapa saja yang dapat mengambil Umbul-umbul Tunggul Yuda yang diletakkan di atas tiang akan dijadikan adipati Surabaya. Sampaikan sayembaya ini kepada semua warga kadipaten Surabaya yang tidak datang di tempat ini”. Pengumuman itu diulang-ulang oleh prajurit kadipaten Surabaya. Mereka menyampaikan sayembara itu dari satu tempat ke tempat lainnya di seluruh wilayah kadipaten Surabaya.
Sayembara itu tersebar dengan cepat dari mulut ke mulut. Tua muda besar kecil pria wanita membicarakan sayembara itu. Di pasar- pasar, di penggrong-penggrong , di cangkrukan-cangkrukan, dan di tempat-tempat orang-orang berkumpul ramai memperbincangkannya. Sayembara itu menjadi menu sehari-hari warga Surabaya.
Cak, sampeyan sudah mendengar ada sayembara?” tanya Miun.
“Sayembara apa, Un? jawab Dul.
Sampeyan iki kok gak ngerti apa-apa. Mangkane aja selidan tek omah wae ta cee kerungu kabar apa-apa” kata Miun sambil meminum kopinya dan membetulkan kakinya di bangku warung.
Sumpah, aku durung kerungu. Kandanono cee ngerti” pinta Dul sambil mengisap rokok kelobotnya itu.
Ngene lho Cak, kadipaten Surabaya ape ngadakno sayembara. Sapa wae sing isa jupuk umbul-umbul Tunggul Yuda bakal didadekno adipati Surabaya” jawab Miun.
Lho, kadipaten Surabaya lak wis ana adipatine arane Jayeng Rono seng teko Medura iku” ujar Dul keheranan.
Sampeyan iki Cak kok gak ngerti apa-apa. Adipati Jayeng Rono iku wis tek lereni” jawab Miun.
Sapa sing ngelereni?” tanya Dul.
Sapa mane kapan gak kompeni Londo” jelas Miun.
Apa salahe Cak, kok dilereni iku. Perasaku adipati Jayeng Rono iku apek lan bener-bener mikirno rakyate” tanya Dul lagi.
Apik munggue dewek rakyat cilik. Tapi munggue Londo Jayeng Rono iku ora nurut karepe kompeni”jelas Miun kepada Dul teman warungnya itu
Keduanya mengobrol di warung itu sampai matahari di atas ubun-ubun. Mereka baru pulang setelah mendengar bedug ditabuh dari masjid Sunan Ampel sebagai pertanda waktu salat Duhur tiba.
Jaka Berek berasal dari Setro Ujungpangkah mendengar sayembaya yang banyak diperbincangkan orang. Ia mendengar berita itu ketika sedang mengunjungi keluarganya yang tinggal Setro Surabaya. Ia yang membabat alas Setro itu. Ia tinggal di tempat itu bersama istrinya penduduk Ngampel.
Ketika masa anak-anak hingga remaja Jaka Berek mondok di Ngampel milik Sunan Ampel kakeknya. Ayah Jaka Berek bernama Jayeng Katon putra Sunan Ampel. Ketika Jayeng Katon meninggalkan Pondok Pangkah untuk mengembara untuk berdakwah menyebarkan agama Islam, ia ditugasi ibunya mencarinya ke pondok Sunan Ampel dan wilayah Surabaya.
 Nama Setro diambil dari nama asal tempat Jaka Berek di Ujungpangkah. Ia sengaja memakai nama Setro untuk tempat tinggalnya yang baru bersama istrinya agar selalu ingat akan tempat kelahirannya di Ujungpangkah. Tempat yang telah mengukir jiwanya dan telah membesarkan dirinya. Ia masih ingat masa-masa kecil di Ujungpangkah. Ia suka tidur-tiduran di atas pohon. Badannya sampai beret-beret terkena kulit pohon yang keras yang digunakan sebagai alas tidurnya. Karena badannya yang beret-beret itu ibunya memanggilnya Jaka Berek. Ia suka sekali menanam pohon sawo kecik di tempat-tempat yang kosong. Pohon sawo kecik yang tumbuh di sebalah selatan Masjid Tiban Pangkah juga ia yang menanamnya. Karena kebiasaannya suka berpanas-panasan terkena terik matahari itu kulit badannya sampai nggale. Oleh karena itu, ibunya sering memanggilnya Sawonggaling kepada anaknya yang suka menanam sawo sampai kulitnya nggale.
Setro Surabaya lama ia tinggalkan. Ia memboyong istrinya ke Setro Ujungpangkah. Ia tinggal di Setro Ujungpangkah bersama istri, Jaka Lelono anaknya dan dua orang saudara Jaka Lelono. Sembilan anaknya yang lain masih tinggal di Setro Surabaya.
Jaka Berek pindah ke Ujungpangkah atas anjuran kedua orang tuanya. Ia diserahi mengurus Pondok Pangkah karena Jayeng Katon bapaknya pergi mengembara menyebarkan agama Islam ke penjuru pulau Jawa dan luar pulau Jawa. Sedangkan keempat saudaranya sudah menjadi pemngasuh di pondoknya masing-masing. Hanya ia yang tidak mendirikan pondok. Ia sering mewakili bapaknya mengasuh Pondok Pangkah bila bapaknya sedang bepergiannya. Ia satu-satunya putra Jayeng Katon yang menempati Pondok Pangkah.
Sepulang dari Setro Surabaya mengunjungi sanak saudaranya, Jaka Berek menemui Nyai Jika ibunya.
Mbok, reang mohon izin kepada Embok” pinta Jaka Berek.
Ana apa anakku, Berek?” tanya ibunya.
Reang apek melu sayemboro tek Surabaya” jawabnya singkat.
Sayemboro apa anakku?” tanya ibunya lagi.
Sayemboro jipuk umbul-umbul. Sapa sing iso bakal tek dadekno adipati Surabaya. Atiku loro, Mbok. Paman Jayeng Rono adikke bapak sing dadi adipati Surabaya tek lereni kompeni Londo tanpa sebab apa-apa” jelas Jaka Berek.
Wis koen pikir temenan ta, Nak, Jaka Berek untung rugine melu sayembara iku” tanya ibunya.
Sampun, Mbok. Reang niati mbelo kebenaran. Paman gak salah kok dicopot kedudukane” jawab Jaka Berek.
Kapan pancine niatmu mbelo kebenaran, Embok ngerestui senajan berat rasani ati koen tinggal” kata Nyai Jika.”Kapan koen lunga, Nak?”
“Insya Allah, kesok Mbok” jawab Jaka Berek.
Pagi-pagi Jaka Berek sudah menyiapkan kudanya. Ia juga menyiapkan perbekalan yang akan dibawa ke Surabaya. Perbekalan itu dibuntal di sarungnya. Buntalan itu digantungkan di pundak kirinya.
Mbok, anak rika pamit lunga Surabaya. Pandunga rika sing tak jaluk” pinta Jaka Berek.
Ya tak dongakno koen. Mugo-mugo koen menang mbelani kebenaran” doa ibunya.
“Assalamualaikum” ucap Jaka Berek sebelum meninggalkan ibunya.
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh” balas ibunya.
Jaka Berek menaiki kudanya. Ia menarik tali kuda itu. Kuda itu berlari meninggalkan Nyai Jika dan Pondok Pangkah. Ibunya memandangi kepergian putranya. Ia satu-satunya putra Nyai Jika yang tinggal di Pondok Pangkah. Dia ikuti lari kuda itu hingga lari kuda tak terlihat lagi oleh rimbunnya pohon-pohon yang tumbuh di kanan kiri jalan. Tanpa terasa air matanya menetes membasahi pipinya.
Sementara itu di alun-alun kadipaten Surabaya sudah ramai orang-orang yang datang ingin menyaksikan sayembaya mengambil umbul-umbul Tunggul Yuda. Mereka mengelingi alun-alun. Mereka berebut ingin mendapatkan tempat duduk terdepan agar bisa melihat dengan jelas. Mereka segera ingin melihat peristiwa yang jarang terjadi itu. Mereka rela menunggu berjam-jam di pinggir alun-alun.
Para penonton itu ingin melihat kesatria yang berhasil mengambil umbul-umbul itu. Mereka meragukan ada kesatria yang bisa melakukannya. Umbul-umbul itu diletakkan di atas tiang setinggi lima belas meter. Tiga meter di bawah umbul-umbul itu terdapat bolang-baling  yang terus berputar. Bolang-baling itu sangat tajam bagai pedang yang siap memutus tangan siapa saja yang akan mendekati.
“Gung…gung…gung” suara gong ditebuh oleh prajurit penjaga.
Dulur-dulur, saya umumkan bahwa sampai saat ini yang mendaftarkan diri sebagai peserta sayembara mengambil umbul-umbul Tunggul Yuda baru ada dua orang. Sebelum dilaksanakan sayembara ini, saya umumkan sekali lagi kepada semua warga kadipaten Surabaya yang ingin mengikuti sayembara ini segera mendaftar. Kalau sudah tidak ada maka sayembara ini agan segera kita mulai hanya dengan dua orang peserta” jelas prajurit kadipaten Surabaya di tengah alun-alun itu.
Prajurit pemegang tabuh gong maju ke tempat gong yang diletakkan depan samping kiri tamu-tamu kehormatan itu. Ia membunyikan gong itu tiga kali pertanda sayembara itu segera dimulai.
Seorang prajurit maju dan membuka kertas yang ada di tangannya.
“Peserta sayembaya mengambil umbul-umbul Tunggul Yuda ini ada  dua orang yaitu Sawongrono dan Sawongsari. Saya persilahkan kepada Sawongrono untuk segera naik ke tiang dan mengambil umbul-umbul itu” kata prajurit itu.
“Dik, silahkan kamu yang maju lebih dahulu” ujar Sawongrono.
“Tidak, Kak. Kakak dulu karena Kakak yang lebih tua” balas Sawongsari.
Sawongsari maju terlebih dahulu. Ia langsung menuju tiang yang ada di tengah alun-alun. Ia memanjat tiang itu seperti bajing loncat yang sedang naik pohon kelapa. Dalam sekejap ia sudah di atas. Namun, aia tidak bisa naik ke atas lagi mendekati umbul-umbul karena terhalang bolang-baling. Ia mencari akal agar dapat melewatinya tapi sia-sia. Berkali-kali ia berupaya namun tetap gagal. Ia kehabisan tenaga turun dari tiang itu. Ia gagal memenuhi ambisinya menjadi seorang adipati Surabaya menggantikan kedudukan ayahnya yang dilengserkan kompeni Belanda.
Sawongrono maju menggantikan adiknya yang gagal membawa turun umbul-umbul Tunggul Yuda. Ia ingin mempersembahkan kepada ayahnya kedudukan sebagai seorang adipati Surabaya menggantikan ayahnya. Ia bertekad untuk mengambil umbul-umbul itu. Ia melangkahkan kakinya ke tengah alun-alun kadipaten Surabaya itu. Ia tidak ingi gagal seperti adiknya. Ia memutar otaknya agar bisa melewati bolang-bolang itu. Dengan penuh percaya diri ia menaiki tiang itu. Ia mencoba mencari akal untuk bisa melewati bolang-bolang namun upayanya   gagal. Ia tidak bisa melewati rintangan itu. Kedua putra adipati Jayeng Rono itu gagal dalam sayembaya itu. Kedua putranya gagal menggantikan kedudukannya sebagai adipati Surabaya.
Di tengah sorak-sorai petonton yang berjubel-jubel di pinggir alun-alun itu datang seorang anak muda memecah kerumunan orang-orang.
Amit…amit   amit… Reang wong Setro apek melu sayemboro” suara itu datang seorang pemuda yang menerobos ke alun-alun sambil membawa buntelan di sarung yang digantungkan di pundak kirinya. Orang-orang memberinya jalan masuk. Ia menuju prajurit yang berada di depan tenda kehormatan itu.
“Siapa kamu ini?” tanya prajurit melihat seorang pemuda yang datang dengan pakaian sederhana dan mengalungkan sarungnya di lehernya. Ia beralaskan sandal dari dahan daun siwalan. Wajahnya kumal penuh denga keringat.
Reang Jaka Berek ya Sawonggaling teka Setro apek melu sayembara sing diadakno kompeni Londo. Reang kepingin nyoba nae iso” jawabnya.
Prajurit itu tidak memberikan jawaban tapi ia menghadap ke atasannya untuk menyampaikan keinginan Jaka Berek mengikuti sayembara.
“Silahakan ambil umbu-umbul itu jika kamu memang bisa” ujar prajurit setelah kembali memnghadap atasannya.
Bismillahirrohmanirahim. Bismillahil ladi la yadurru ma as mihi syaiun fir ardi wala wis sama-i wala fil ardi wa huwas sami-ul alim in naka ala qul-li syai-in qodir. Mbok pandunga rika tak jaluk cee reang iso jipul umbul-umbul iku” ucap Jaka Berek sebelum naik ke tiang itu. Ia menaiki tiang itu secepat kilat. Mata-mata penonton tidak bisa mengikuti kecepatan gerakan tubuh Jaka Berek. Tubuhnya tiba-tiba berada di atas bolang-baling. Para penonton heran bagaimana ia bisa melakukan itu. Mereka tidak tahu yang dilakukan Jaka Berek. Tiba-tiba tangannya sudah memegang umbul-umbul. Umbul-umbul itu ditariknya. Dengan secepat kilat tubuhnya sudah berada di bawah. Gemuruh sorak penonton pecah di tengah alun-alun itu menyambut keberhasilan Jaka Berek.
Orang-orang Setro Surabaya yang menyaksikan sayembara itu berhamburan menyerbu Jaka Berek yang telah berhasil memenangi sayem,bara itu. Mereka beramai-ramai membopong Jaka Berek dan diarak keliling alun-alun Surabaya. Setelah puas berkeliling alun-alun, mereka membawanya ke perkampungan Setro Surabaya. Mereka mengelu-elukan pahlawannya sepanjang perjalanan menuju rumah Jaka Berek.
Keberhasilan Jaka Berek memenangi sayembara itu menjadi buah bibir penduduk kadipaten Surabaya. Setiap kerumunan orang di gang-gang, di gardu-gardu, di pasar-pasar, di warung-warung dan di tempat-tempat keramaian selalu membicarakan kehebatan Jaka Berek dari Setro itu. Mereka senang akan memiliki seorang adipati yang baru yang sakti mandraguna.
Jaka Berek tinggal menunggu pelantikannya sebagai adipati Surabaya yang baru menggantikan Jayeng Rono pamannya. Ia pulang ke Setro Ujungpangkah untuk mengabarkan keberhasilannya kepada sanak keluarganya, terutama kepada ibunya. Ia mohon restu agar kelak bisa menjadi adipati yang dicintai dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.