Minggu, 02 Oktober 2011

Masjid Tiban Pangkah

MASJID ‘TIBAN’ UJUNGPANGKAH
Oleh: Masnukhan, S. Pd.

(Ketua Takmir Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah)

Ujungpangkah merupakan salah satu kecamatan di wilayah kabupaten Gresik yang berada di wilayah paling utara kabupaten Gresik. Banyak peninggalan dan situs-situs bersejarah yang terdapat di wilayah Ujungpangkah. Namun, kerena belum adanya tulisan-tulisan yang mengangkat ke permukaan, peninggalan bersejarah itu kini hampir terlupakan oleh generasi Ujungpangkah khususnya dan generasi Gresik pada umumnya. Padahal, peninggalan bersejarah itu merupakan aset yang tak ternilai harganya bila pemiliknya pandai memanfaatkannya. Warisan leluhur itu harus dijaga dan dilindungi, bila tak ingin menjadi bangsa yang tercerabut dari akar budayanya.
Salah satu peninggalan bersejarah yang ada di Ujungpangkah adalah berupa masjid. Masjid itu dikenal orang Ujungpangkah sebagai masjid tiban. Disebut demikian, karena masjid itu bahan-bahannya datang dengan sendirinya. Bahan-bahan masjid itu datang secara tiba-tiba di Ujungpangkah.
Menurut Syekh Muridin, keturunan kelima Jayeng Katon bin Sunan Bonang Tuban, dalam buku Primbon Sunan Bonang bahwa bahan-bahan masjid Ujungpangkah itu kiriman dari Sunan Bonang Tuban. Sunan Banang mengirim bahan-bahan masjid yang berupa kayu gelondongan kepada putranya Jayeng Katon yang telah lama bermukim di Ujungpangkah dan sebagai penyebar agama Islam di Ujungpangkah.
Jayeng Katon datang ke Ujungpangkah bersama adiknya yang bernama Jayeng Rono dan putra pertamanya yang bernama Pendil Wesi. Kedatangan ketiga keturunan Sunan Bonang di Ujungpangkah itu ditandai dengan penanaman tiga pohon asem yang melambangkan adanya tiga keturunan Sunan Bonang. Tiga pohon asem itu bernama Asem Resik, Asem Growok, dan Asem Angker. Asem Resik berada di pertigaan jalan Sitarda Ujungpangkah, Asem Growok berada di jalan Jiwosoto Pangkahkulon Ujungpangkah, dan Asem Angker berada di kampung Kauman Pangkahkulon Ujungpangkah. Namun, sayang pohon bersejarah itu kini tinggal Asem Growok sedangkan Asem Resik dan Asem Angker tinggal kenangan karena telah dipotong dan berganti menjadi bangunan rumah.
Jayeng Katon mendirikan pondok di tepi pantai Ujungpangkah, sebelum pantai Ujungpangkah berubah menjadi ujung akibat endapan lumpur Bengawan Solo. Pondok itu sebagai sarana mengajarkan agama Islam kepada penduduk. Pondok itu ditandai dengan batu gilang. Batu itu sering digunakan sebagai tempat duduk-duduk Jayeng Katon menikmati keindahan pantai Ujungpangkah mengusir kepenatan usai memberikan pelajaran kepada santri-santrinya. Tempat mandi dan wudlu pun dibuat di timur pondok itu, berupa sumur senggot berukuran 2 x 3 m yang bening airnya dan beji atau jublangan yang berukuran 3 x 5 m yang airnya bisa berubah menjadi hijau atau  merah delima.
Bak gayung bersambut, pondok Jayeng Katon dibanjiri santri-santri untuk menimbah ilmu agama Islam. Santri-santri yang mengaji tidak hanya penduduk Ujungpangkah, namun banyak juga yang berasal dari luar seperti Ronggo Janur, Ronggo Seto, Ronggo Lawe dari Tuban.
Tidak hanya itu, banyak penduduk yang membuat rumah di sekitar pondoknya. Mereka itu merupakan penduduk Ujungpangkah yang memeluk agama Islam berkat bimbingan Jayeng Katon. Perkampungan mereka disebut Kauman. Keberadaan mereka diikuti penduduk yang lain yang berada di wilayah Ujungpangkah. Berkat bimbingannya seluruh penduduk Ujungpangkah menganut agama Islam.
Setelah Jayeng Katon berhasil mengembangkan Islam di Ujungpangkah bersama adiknya Jayeng Rono. Jayeng Katon berkeinginan memperluas daerah pengembangan agama Islam, maka Jayeng Katon mengutus Jayeng Rono adiknya untuk mengembangkan agama Islam di pulau Madura.
Kabar keberhasilan Jayeng Katon dalam pengembangan Islam di wilayah Ujungpangkah sampai juga ke Sunan Bonang ayahandanya di Tuban. Karena pondok Jayeng Katon belum mempunyai masjid yang dapat menampung penduduk bila melaksanakan salat Jumat, Sunan Bonang mengutus seorang santrinya mengirimkan kayu-kayu jati gelondongan untuk bahan pembangunan masjid di pondok putranya. Kayu-kayu itu dilarung ke laut. Kayu-kayu itu akan berhenti sendiri di tempat yang dituju. Kayu-kayu itu dikawal seorang santri Sunan Bonang yang dikenal dengan nama panggilan Kyai Maskiriman.
Kayu-kayu yang diikat dengan tali lingir dari tematan yang dikawal Maskiriman itu berhenti di pantai Ujungpangkah. Sebagaimana pesan Sunan Bonang kayu-kayu itu harus dijadikan sebuah masjid di tempat kayu-kayu itu berhenti. Tempat berhentinya kayu itu kini dinamai kampung Kramat karena tempat itu dianggap sebagai tempat yang kramat. Tempat berhentinya kayu-kayu itu tepat di sebelah utara pondok Jayeng Katon.
Jayeng Katon bersama para santri dan penduduk setempat merancang kayu-kayu menjadi sebuah masjid. Namun, ternyata kayunya kurang untuk satu sokogurunya. Karena kurang satu sokogurunya, Kyai Maskiriman pergi menghadap Sunan Giri, saudara misan Sunan Bonang, untuk meminta kayu. Itu sesuai dengan pesan Sunan Bonang kepada Markiriman sebelum melarung kayu. Sunan Giri menyanggupin mencarikan kayu yang dibutuhkan.
Setelah mendapatkan kayu bakal satu sokoguru masjid Pangkah, Sunan Giri dengan karomahnya kayu gelondongan itu diubah menjadi kecil. Sunan Giri membawa kayu itu naik ke menara masjid Giri Gresik dan membuat lubang di bagian utara menara lalu melemparkan kayu itu ke arah Ujungpangkah. Dengan takdir Allah kayu itu melesat bagaikan anak panah ke Ujungpangkah dan jatuh tepat di depan pondok Jayeng Katon.
Jayeng Katon bersama kelima putranya, para santrinya dan  penduduk Ujungpangkah santri itu membangun masjid. Masjid itu semuanya terbuat dari bahan kayu jati. Masjid itu beratap susun tiga. Atap susun yang paling atas semuanya terbuat dari kayu, termasuk gentingnya. Kayu penyangga atap susun ketika itu diikat dengan tali lingir. Masjid itu berukuran 12 m x 12 m dengan empat tiang sokoguru, dan 32 pilar. Di tengah-tengah masjid terdapat tangga untuk ke atas menara. Masjid itu dinamai masjid Jamik artinya masjid untuk berjamaah Jumat. Masjid itu berpagar tembok keliling dengan satu pintu gapura. Pintu itu bentuknya mirip dengan pintu gapura memasuki kompleks pemakaman Sunan Bonang. Di pintu masuk terdapat batu hitam berukuran 1,5 m x  0,30 m x 0,15 m. Batu itu sejenis dengan batu yang digunakan untuk membangun Kakbah di Mekkah. Batu itu dibawa oleh Nyai Jika sepulang dari menunaikan ibadah haji. Batu hitam itu disandingi dengan batu berbentuk keris. Batu itu replika keris Aji Saka.
Selain mengirimkan kayu salah satu sokoguru masjid Jamik Ujungpangkah Sunan Giri juga menghadiahi mimbar tempat khotib berkhotbah. Mimbar itu terbuat dari kayu jati dengan candra sengkala naga kale warni setunggal ( tahun 1428 saka/ 1506 masehi/ 911 hijriah). Masjid itu juga dilengkapi dengan bedhok ( Jawa: jidor ) dan kentongan yang terbuat dari kayu jati
Di timur Masjid terdapat alun-alun yang ditanami lima pohon beringin. Lima pohon beringin itu sebagai tempat berteduh atau bernaung. Berjumlah lima melambangkan lima rukun Islam. Lima pohon beringin mengisyaratkan lima putra Jayeng Katon yang siap membawa masyarakat Ujungpangkah di bawah perlindungan ajaran Allah yakni agama Islam. Kelima putra Jayeng Katon sebagai penerus perjuangan adalah Pendel Wesi, Jaka Karang Wesi, Jaka Berek Sawonggaling, Jaka Sekintel alias Cinde Amo, dan Jaka Slining alias Jaka Tingkir.
Kelima putra Jayeng Katon mengikuti jejak abahnya dalam mengembangkan Islam. Mereka juga mendirikan pondok sebagai sarananya. Pendek Wesi mendirikan pondok Bekuto di Bekuto Ujungpangkah, Jaka Karang Wesi mendirikan pondok Rebuyut di Rebuyut Ujungpangkah, Cinde Amo mendirikan pondok Unusan di Unusan Ujungpangkah, dan Jaka Slining mendirikan pondok Sabilan di Sabilan Ujungpangkah. Jaka Berek Sawonggaling mengasuh pondok Pangkah menggantikan Jayeng Katon.
Suatu hari ada seorang tamu dari Aceh. Orang Ujungpangkah memanggilnya Syeh Aceh. Ia pergi bersilaturrahim ke pondok-pondok keluarganya yang berada di pulau Jawa. Ia kunjungi pondok Sunan Ampel Surabaya, pondok Sunan Bonang Tuban diteruskan ke Pondok Pangkah. Sampai di Pondok Pangkah, ia tidak bertemu dengan Jayeng Katon, putra Sunan Bonang ,karena Jayeng Katon sudah wafat. Ia hanya bertemu dengan anak dan cucu Jayeng Katon. Syeh Aceh mengunjungi pondok-pondok anak cucu Jayeng Katon. Setelah selesai mengadakan kunjungan itu ia pergi ke Masjid Tiban Ujungpangkah untuk melaksanakan salat. Ia tidak melihat tempat wudu dan mandi untuk kaum wanita. Ia berinisiatif membuat jublangan khusus wanita. Bersama anak cucu Jayeng Katon serta penduduk Ujungpangkah dibuat jumbangan. Jumblangan itu berada di sebalah selatan jumblangan bagian utara yang dibuat Jayeng Katon dan berada di sebelah timur pohon sawo kecik yang ditanam Jaka Berek Sawonggaling. Air jublangan itu berwarna hijau. Sayang, jublangan itu kini tinggal kenangan karena telah diratakan dengan tanah guna perluasan masjid pada tahun 1975.
Kini, Masjid ‘Tiban’ Ujungpangkah itu bernama Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah. Masjid itu sudah mengalami beberapa kali perubahan. Namun, bentuk aslinya masih nampak pada bagian depan(barat) masjid yang berupa atap tumpang Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah merupakan peninggalan bersejarah perkembangan Islam di Ujungpangkah dan sekitarnya. Oleh karena itu, keberadaannya perlu dijaga, dilestarikan, dan dilindungi tidak hanya oleh masyarakat Ujungpangkah, tetapi juga pemerintah karena peninggalamn ini merupakan aset budaya yang ada di kabupaten Gresik sebelum aset-aset itu hilang ditelan masa.

1 komentar:

  1. Pak nukhan guru saya yang bs dibilang paling kreatif dalam melakukan metode pendidikan. Blog ini salah satu contoh.
    Tidak banyak guru sekarang yang pandai memanfaatkan kemajuan teknologi dalam usaha mencerdaskan masyarakat.
    Saya rasa blog ini sangat penting untuk menambah wawasan masyakat terutama warga ujung pangkah, saya sendiri baru tau sejarah ujung pangkah dari buku karangan bapak.
    Selamat berjuang pak! Semoga Allah selalu memudahkan usaha bapak.

    BalasHapus