Selasa, 25 Oktober 2011

JAKA BEREK SAWONGGALING PUTRA UJUNGPANGKAH GRESIK


JOKO BEREK SAWONGGALING PUTRA UJUNGPANGKAH
Oleh: Masnukhan, S. Pd.

“Gung…gung…gung.”
Suara gong yang dibunyikan oleh prajurit kadipaten Surabaya itu mengundang orang-orang yang mendengarnya berkumpul. Orang-orang berlarian mendatangi tempat suara gong yang dibunyikan. Para penduduk segera berkerumun di tempat itu. Mereka ingin tahu ada berita penting apa yang akan disampaikan oleh para prajurit itu.
“Woro-woro, saya umumkan kepada semua warga kadipaten Surabaya bahwa kadipaten Surabaya mengadakan sayembaya. Siapa saja boleh mengikuti sayembara ini asal warga kadipaten Surabaya. Siapa saja yang dapat mengambil Umbul-umbul Tunggul Yuda yang diletakkan di atas tiang akan dijadikan adipati Surabaya. Sampaikan sayembaya ini kepada semua warga kadipaten Surabaya yang tidak datang di tempat ini”. Pengumuman itu diulang-ulang oleh prajurit kadipaten Surabaya. Mereka menyampaikan sayembara itu dari satu tempat ke tempat lainnya di seluruh wilayah kadipaten Surabaya.
Sayembara itu tersebar dengan cepat dari mulut ke mulut. Tua muda besar kecil pria wanita membicarakan sayembara itu. Di pasar- pasar, di penggrong-penggrong , di cangkrukan-cangkrukan, dan di tempat-tempat orang-orang berkumpul ramai memperbincangkannya. Sayembara itu menjadi menu sehari-hari warga Surabaya.
Cak, sampeyan sudah mendengar ada sayembara?” tanya Miun.
“Sayembara apa, Un? jawab Dul.
Sampeyan iki kok gak ngerti apa-apa. Mangkane aja selidan tek omah wae ta cee kerungu kabar apa-apa” kata Miun sambil meminum kopinya dan membetulkan kakinya di bangku warung.
Sumpah, aku durung kerungu. Kandanono cee ngerti” pinta Dul sambil mengisap rokok kelobotnya itu.
Ngene lho Cak, kadipaten Surabaya ape ngadakno sayembara. Sapa wae sing isa jupuk umbul-umbul Tunggul Yuda bakal didadekno adipati Surabaya” jawab Miun.
Lho, kadipaten Surabaya lak wis ana adipatine arane Jayeng Rono seng teko Medura iku” ujar Dul keheranan.
Sampeyan iki Cak kok gak ngerti apa-apa. Adipati Jayeng Rono iku wis tek lereni” jawab Miun.
Sapa sing ngelereni?” tanya Dul.
Sapa mane kapan gak kompeni Londo” jelas Miun.
Apa salahe Cak, kok dilereni iku. Perasaku adipati Jayeng Rono iku apek lan bener-bener mikirno rakyate” tanya Dul lagi.
Apik munggue dewek rakyat cilik. Tapi munggue Londo Jayeng Rono iku ora nurut karepe kompeni”jelas Miun kepada Dul teman warungnya itu
Keduanya mengobrol di warung itu sampai matahari di atas ubun-ubun. Mereka baru pulang setelah mendengar bedug ditabuh dari masjid Sunan Ampel sebagai pertanda waktu salat Duhur tiba.
Jaka Berek berasal dari Setro Ujungpangkah mendengar sayembaya yang banyak diperbincangkan orang. Ia mendengar berita itu ketika sedang mengunjungi keluarganya yang tinggal Setro Surabaya. Ia yang membabat alas Setro itu. Ia tinggal di tempat itu bersama istrinya penduduk Ngampel.
Ketika masa anak-anak hingga remaja Jaka Berek mondok di Ngampel milik Sunan Ampel kakeknya. Ayah Jaka Berek bernama Jayeng Katon putra Sunan Ampel. Ketika Jayeng Katon meninggalkan Pondok Pangkah untuk mengembara untuk berdakwah menyebarkan agama Islam, ia ditugasi ibunya mencarinya ke pondok Sunan Ampel dan wilayah Surabaya.
 Nama Setro diambil dari nama asal tempat Jaka Berek di Ujungpangkah. Ia sengaja memakai nama Setro untuk tempat tinggalnya yang baru bersama istrinya agar selalu ingat akan tempat kelahirannya di Ujungpangkah. Tempat yang telah mengukir jiwanya dan telah membesarkan dirinya. Ia masih ingat masa-masa kecil di Ujungpangkah. Ia suka tidur-tiduran di atas pohon. Badannya sampai beret-beret terkena kulit pohon yang keras yang digunakan sebagai alas tidurnya. Karena badannya yang beret-beret itu ibunya memanggilnya Jaka Berek. Ia suka sekali menanam pohon sawo kecik di tempat-tempat yang kosong. Pohon sawo kecik yang tumbuh di sebalah selatan Masjid Tiban Pangkah juga ia yang menanamnya. Karena kebiasaannya suka berpanas-panasan terkena terik matahari itu kulit badannya sampai nggale. Oleh karena itu, ibunya sering memanggilnya Sawonggaling kepada anaknya yang suka menanam sawo sampai kulitnya nggale.
Setro Surabaya lama ia tinggalkan. Ia memboyong istrinya ke Setro Ujungpangkah. Ia tinggal di Setro Ujungpangkah bersama istri, Jaka Lelono anaknya dan dua orang saudara Jaka Lelono. Sembilan anaknya yang lain masih tinggal di Setro Surabaya.
Jaka Berek pindah ke Ujungpangkah atas anjuran kedua orang tuanya. Ia diserahi mengurus Pondok Pangkah karena Jayeng Katon bapaknya pergi mengembara menyebarkan agama Islam ke penjuru pulau Jawa dan luar pulau Jawa. Sedangkan keempat saudaranya sudah menjadi pemngasuh di pondoknya masing-masing. Hanya ia yang tidak mendirikan pondok. Ia sering mewakili bapaknya mengasuh Pondok Pangkah bila bapaknya sedang bepergiannya. Ia satu-satunya putra Jayeng Katon yang menempati Pondok Pangkah.
Sepulang dari Setro Surabaya mengunjungi sanak saudaranya, Jaka Berek menemui Nyai Jika ibunya.
Mbok, reang mohon izin kepada Embok” pinta Jaka Berek.
Ana apa anakku, Berek?” tanya ibunya.
Reang apek melu sayemboro tek Surabaya” jawabnya singkat.
Sayemboro apa anakku?” tanya ibunya lagi.
Sayemboro jipuk umbul-umbul. Sapa sing iso bakal tek dadekno adipati Surabaya. Atiku loro, Mbok. Paman Jayeng Rono adikke bapak sing dadi adipati Surabaya tek lereni kompeni Londo tanpa sebab apa-apa” jelas Jaka Berek.
Wis koen pikir temenan ta, Nak, Jaka Berek untung rugine melu sayembara iku” tanya ibunya.
Sampun, Mbok. Reang niati mbelo kebenaran. Paman gak salah kok dicopot kedudukane” jawab Jaka Berek.
Kapan pancine niatmu mbelo kebenaran, Embok ngerestui senajan berat rasani ati koen tinggal” kata Nyai Jika.”Kapan koen lunga, Nak?”
“Insya Allah, kesok Mbok” jawab Jaka Berek.
Pagi-pagi Jaka Berek sudah menyiapkan kudanya. Ia juga menyiapkan perbekalan yang akan dibawa ke Surabaya. Perbekalan itu dibuntal di sarungnya. Buntalan itu digantungkan di pundak kirinya.
Mbok, anak rika pamit lunga Surabaya. Pandunga rika sing tak jaluk” pinta Jaka Berek.
Ya tak dongakno koen. Mugo-mugo koen menang mbelani kebenaran” doa ibunya.
“Assalamualaikum” ucap Jaka Berek sebelum meninggalkan ibunya.
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh” balas ibunya.
Jaka Berek menaiki kudanya. Ia menarik tali kuda itu. Kuda itu berlari meninggalkan Nyai Jika dan Pondok Pangkah. Ibunya memandangi kepergian putranya. Ia satu-satunya putra Nyai Jika yang tinggal di Pondok Pangkah. Dia ikuti lari kuda itu hingga lari kuda tak terlihat lagi oleh rimbunnya pohon-pohon yang tumbuh di kanan kiri jalan. Tanpa terasa air matanya menetes membasahi pipinya.
Sementara itu di alun-alun kadipaten Surabaya sudah ramai orang-orang yang datang ingin menyaksikan sayembaya mengambil umbul-umbul Tunggul Yuda. Mereka mengelingi alun-alun. Mereka berebut ingin mendapatkan tempat duduk terdepan agar bisa melihat dengan jelas. Mereka segera ingin melihat peristiwa yang jarang terjadi itu. Mereka rela menunggu berjam-jam di pinggir alun-alun.
Para penonton itu ingin melihat kesatria yang berhasil mengambil umbul-umbul itu. Mereka meragukan ada kesatria yang bisa melakukannya. Umbul-umbul itu diletakkan di atas tiang setinggi lima belas meter. Tiga meter di bawah umbul-umbul itu terdapat bolang-baling  yang terus berputar. Bolang-baling itu sangat tajam bagai pedang yang siap memutus tangan siapa saja yang akan mendekati.
“Gung…gung…gung” suara gong ditebuh oleh prajurit penjaga.
Dulur-dulur, saya umumkan bahwa sampai saat ini yang mendaftarkan diri sebagai peserta sayembara mengambil umbul-umbul Tunggul Yuda baru ada dua orang. Sebelum dilaksanakan sayembara ini, saya umumkan sekali lagi kepada semua warga kadipaten Surabaya yang ingin mengikuti sayembara ini segera mendaftar. Kalau sudah tidak ada maka sayembara ini agan segera kita mulai hanya dengan dua orang peserta” jelas prajurit kadipaten Surabaya di tengah alun-alun itu.
Prajurit pemegang tabuh gong maju ke tempat gong yang diletakkan depan samping kiri tamu-tamu kehormatan itu. Ia membunyikan gong itu tiga kali pertanda sayembara itu segera dimulai.
Seorang prajurit maju dan membuka kertas yang ada di tangannya.
“Peserta sayembaya mengambil umbul-umbul Tunggul Yuda ini ada  dua orang yaitu Sawongrono dan Sawongsari. Saya persilahkan kepada Sawongrono untuk segera naik ke tiang dan mengambil umbul-umbul itu” kata prajurit itu.
“Dik, silahkan kamu yang maju lebih dahulu” ujar Sawongrono.
“Tidak, Kak. Kakak dulu karena Kakak yang lebih tua” balas Sawongsari.
Sawongsari maju terlebih dahulu. Ia langsung menuju tiang yang ada di tengah alun-alun. Ia memanjat tiang itu seperti bajing loncat yang sedang naik pohon kelapa. Dalam sekejap ia sudah di atas. Namun, aia tidak bisa naik ke atas lagi mendekati umbul-umbul karena terhalang bolang-baling. Ia mencari akal agar dapat melewatinya tapi sia-sia. Berkali-kali ia berupaya namun tetap gagal. Ia kehabisan tenaga turun dari tiang itu. Ia gagal memenuhi ambisinya menjadi seorang adipati Surabaya menggantikan kedudukan ayahnya yang dilengserkan kompeni Belanda.
Sawongrono maju menggantikan adiknya yang gagal membawa turun umbul-umbul Tunggul Yuda. Ia ingin mempersembahkan kepada ayahnya kedudukan sebagai seorang adipati Surabaya menggantikan ayahnya. Ia bertekad untuk mengambil umbul-umbul itu. Ia melangkahkan kakinya ke tengah alun-alun kadipaten Surabaya itu. Ia tidak ingi gagal seperti adiknya. Ia memutar otaknya agar bisa melewati bolang-bolang itu. Dengan penuh percaya diri ia menaiki tiang itu. Ia mencoba mencari akal untuk bisa melewati bolang-bolang namun upayanya   gagal. Ia tidak bisa melewati rintangan itu. Kedua putra adipati Jayeng Rono itu gagal dalam sayembaya itu. Kedua putranya gagal menggantikan kedudukannya sebagai adipati Surabaya.
Di tengah sorak-sorai petonton yang berjubel-jubel di pinggir alun-alun itu datang seorang anak muda memecah kerumunan orang-orang.
Amit…amit   amit… Reang wong Setro apek melu sayemboro” suara itu datang seorang pemuda yang menerobos ke alun-alun sambil membawa buntelan di sarung yang digantungkan di pundak kirinya. Orang-orang memberinya jalan masuk. Ia menuju prajurit yang berada di depan tenda kehormatan itu.
“Siapa kamu ini?” tanya prajurit melihat seorang pemuda yang datang dengan pakaian sederhana dan mengalungkan sarungnya di lehernya. Ia beralaskan sandal dari dahan daun siwalan. Wajahnya kumal penuh denga keringat.
Reang Jaka Berek ya Sawonggaling teka Setro apek melu sayembara sing diadakno kompeni Londo. Reang kepingin nyoba nae iso” jawabnya.
Prajurit itu tidak memberikan jawaban tapi ia menghadap ke atasannya untuk menyampaikan keinginan Jaka Berek mengikuti sayembara.
“Silahakan ambil umbu-umbul itu jika kamu memang bisa” ujar prajurit setelah kembali memnghadap atasannya.
Bismillahirrohmanirahim. Bismillahil ladi la yadurru ma as mihi syaiun fir ardi wala wis sama-i wala fil ardi wa huwas sami-ul alim in naka ala qul-li syai-in qodir. Mbok pandunga rika tak jaluk cee reang iso jipul umbul-umbul iku” ucap Jaka Berek sebelum naik ke tiang itu. Ia menaiki tiang itu secepat kilat. Mata-mata penonton tidak bisa mengikuti kecepatan gerakan tubuh Jaka Berek. Tubuhnya tiba-tiba berada di atas bolang-baling. Para penonton heran bagaimana ia bisa melakukan itu. Mereka tidak tahu yang dilakukan Jaka Berek. Tiba-tiba tangannya sudah memegang umbul-umbul. Umbul-umbul itu ditariknya. Dengan secepat kilat tubuhnya sudah berada di bawah. Gemuruh sorak penonton pecah di tengah alun-alun itu menyambut keberhasilan Jaka Berek.
Orang-orang Setro Surabaya yang menyaksikan sayembara itu berhamburan menyerbu Jaka Berek yang telah berhasil memenangi sayem,bara itu. Mereka beramai-ramai membopong Jaka Berek dan diarak keliling alun-alun Surabaya. Setelah puas berkeliling alun-alun, mereka membawanya ke perkampungan Setro Surabaya. Mereka mengelu-elukan pahlawannya sepanjang perjalanan menuju rumah Jaka Berek.
Keberhasilan Jaka Berek memenangi sayembara itu menjadi buah bibir penduduk kadipaten Surabaya. Setiap kerumunan orang di gang-gang, di gardu-gardu, di pasar-pasar, di warung-warung dan di tempat-tempat keramaian selalu membicarakan kehebatan Jaka Berek dari Setro itu. Mereka senang akan memiliki seorang adipati yang baru yang sakti mandraguna.
Jaka Berek tinggal menunggu pelantikannya sebagai adipati Surabaya yang baru menggantikan Jayeng Rono pamannya. Ia pulang ke Setro Ujungpangkah untuk mengabarkan keberhasilannya kepada sanak keluarganya, terutama kepada ibunya. Ia mohon restu agar kelak bisa menjadi adipati yang dicintai dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.

1 komentar: